Minggu, 28 Maret 2010

hukum adat minag kabau

Sat, 09 Feb 2008 17:41:16 -0800

Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakaatuh.

Saya copykan makalah saya saat seminar 19-21 Juni 2007
di Unand kemaren. Sebenarnya, saya dah mempelajari
dulu bagaimana adat Minang itu,bukan hanya sekedar
mendengar, melihat sendiri, bahkan bertanya langsung
pada datuk, kebetulan keluarga saya banyak yang jadi
Datuk, juga via tulisan-tulisan dari buku-buku
pengarang yang berkompotent dibidang adat atau para
pakar Adat, sebagaimana yang tercantum dalam referensi
saya dibawah, atau disamping tanda kurung sebelumnya.

Seorang penulis makalah, dia tidak bisa menulis
makalahnya hanya berlandaskan ilmunya saja, tetapi ia
juga harus mempelajari juga apa yang berkaitan dengan
yang disampaikannya. Dan isi masalah adat Minangkabau,
bukan berasal dari pengetahuan saya, tetapi dari
buku-buku yang saya baca, terutama pertanyaan Amir
Syarifuddin pada bagian terakhir.Silahkan diruju' pada
kitab aslinya.

Sengaja ini saya tak kemukakan, hanya sekedar ingin
menarik lebih banyak lagi pendapat-pendapat dari
masyarakat Minang itu sendiri, karena kelak, skripsi
saya akan mengambil dari berbagai pihak.Baik
masyarakat, lihat realita, diskusi-diskusi, dllnya
ataupun yang dah tertulis, bahkan buku-buku karangan
ketua MUI Sumbar pun yang ada di toko buku saya
ludeskan membeli dan membacanya(selagi ada disana)

Sistem kekerabatan

Menurut para ahli antropologi tua pada abad ke – 19,
seperti J. Lublock, G.A Wilken, dan sebagainya,
manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo
dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok
keluarga Batih(nuclear family) yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak, seperti sekarang belum ada. Lambat
laun manusia sadar akan hubungan antara ibu dan
anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga. Oleh
karena itu anak-anak hanya mengenal ibunya, tidak
mengenal siapa ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih
ibu dan anak-anak inilah si ibu menjadi kepala
keluarga.

Dalam kelompok ini, mulai keluar aturan bahwa
persenggamahan (persetubuhan) antara ibu dan anak
lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu).Inilah
asal muasal perkawinan diluar batas kelompok sendiri
yang sekarang disebut dengan adat Eksogami. Artinya
perkawinan hanya boleh dilakukan pada pihak luar,
sedangkan perkawinan dalam kelompok serumpun tidak
diperkenankan sepanjang adapt

Dalam system kekerabatan matrilineal terdapat tiga
unsur yang paling dominan, yaitu:

Pertama : Garis keturunan menurut garis ibu.

Kedua : Perkawinan harus dengan kelompok lain,
diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan
istilah Eksogami matrilineal.

Ketiga : Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan,
pengamanan, kekayaan dan kesejahteraan keluarga

Menurut ajaran islam, agama satu-satunya yang dianut
orang Minang, dikatakan bahwa ada beberapa hal yang
mutlak hanya diketahui dan ditentukan oleh Tuhan untuk
masing-masing kita.
Pertama adalah umur kita sebagai manusia.Tidak
seorangpun tahu kapan ia akan mati.
Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya
dituntut berikhtiar dan berusaha, namun berapa rezeki
yang akan diberikan kepada kita secara mutlak
ditentukan oleh Allah ta'ala.
Ketiga adalahjodoh.Apapun upaya yang dilakukan anak
manusia, bagaimanapun cintanya ia kepada seseorang,
kalau Tuhan tidak mengizinkan perkawinan tidak akan
terlaksana.Sebaliknya kalau memang jodoh, kenal dua
minggupun perkawinan dapat terjadi.

Perkawinan Adat Minangkabau

Perkawinan menuntut tanggung jawab, antara lain
menyangkut nafkah lahir dan bathin, jaminan hidup, dan
pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Dari hal
diatas, antara adat dan agama islam di Minagkabau
membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat,
maupun ketentuan agama. Pelanggaran, apalagi
pendobrakan, terhadap salah satu ketentuan adat maupun
ketentuan agama Islam dalam masalah islam akan membawa
konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan
berkelanjutan pada keturunan.Hukuman yang dijatuhkan
oleh adat dan agama, walau dalam adat tak pernah
diundang-undangkan, sangat berat, bahkan kadangkala
jauh lebih berat daripada hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan agama maupun pengadilan Negara.

Menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya syarat-syarat
perkawinan dalam adat Minagkabau adalah sebagai
berikut: 1. Kedua calon mempelai harus beragama
Islam2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau
tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan
itu berasal dari nagari atau luhak yang lain. 3.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan
menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak
4. Calon suami(marapulai) harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin penghidupan
keluarganya. Perkawinan yang dilakukan tanpa melalui
syarat diatas dapat dianggap perkawinan sumbang atau
perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. (Adat Minangkabau pola dan tujuan hidup, Amir
MS h 23-25).


Perkawinan dalam Islam

Dalam Islam, perkawinan itu tidaklah begitu terlalu
dipersulit, tetapi juga tidak mudah
digampang-gampangkan. Didalam sebuah hadits Rasulullah
Shallallhu'alaihiwasallam, disebutkan bagaimana cara
seseorang mencari jodoh. "Wanita itu dinikahi dengan
empat perkara: Karena hartanya, karena kecantikannya,
karena nasab, atau keturunannya, dan karena agamanya,
maka pilihlah yang memiliki agama, engkau akan
beruntung".Jadi tidak ada disebutkan dalam agama
Islam, larangan untuk tidak boleh kawin sesuku.
Sepanjang dia adalah wanita atau lelaki bukan orang
yang diharamkan untuk untuk dinikahi seperti tercantum
dalam Q.S. Annisa 22, 23-24), dan beberapa ketentuan
hukum islam lainnya atas wanita-wanita yang haram
dinikahi.

Maka perkawinan boleh saja, asalkan rukun dan syarat
pernikahan terpenuhi, seperti ijab, kabul, ada kedua
mempelai, beragama Islam, ataupun boleh saja
perkawinan dengan ahli kitab yang asli dimana mereka
beriman kepada Allah, dan ahli kitab yang belum
menukar-nukar kitabnya, semasa zaman Rasulullah
dibolehkan, , kawin sesuku dibolehkan dalam Islam,
sepanjang itu halal baginya menurut kategori yang
telah ditentukan Islam. Allahsubhanahu wata'ala
berfirman yang artinya, "Kenapa kamu mengharamkan
apa-apa yang dihalalkan oleh Allah Ta'ala kepada
kamu". Rasulullah sendiripun sebagai utusan dan orang
terdekat dengan Allah Ta'ala pernah mendapat teguran
karena beliau telah menahan, atau melarang dirinya
dari memakan suatu yang halal dimakan beliau hanya
demi mencari keridhaan istrinya.
Dan ini hanya masalah makanan, masalah keduniawiyaan.
Apatah lagi kita sebagai manusia biasa, kenapa harus
ada larangan kawin sesuku, yang mana saja andaikan
sesuku kita tersebut adalah orang yang halal kita
nikahi menurut agama. Bahkan kenapa sampai mereka yang
menikah dengan sesuku harus diasingkan atau terkadang
sampai kena hukuman pula. Bukankah hal ini suatu hal
yang berbeda dengan hukum agama Islam? Adakah landasan
kita orang Minang dalam syara' atas larangan kawin
sesuku ini. Bukankah landasan kita orang Minang adalah
ABSSBK, sementara dalam syara' sendiri tidak ada
larangan kawin sesuku sepanjang orang tersebut halal
kita nikahi menurut agama, bukan orang yang haram kita
nikahi menurut ketentuan agama. Jangankan kawin
sesuku, kawin dengan sepupu, orang terdekat saja
dibolehkan dalam islam, sepanjang itu bukan yang
diharamkan, Fatimah dan Imam Ali karamahullahuwajhah,
keturunan Rasulullahpun banyak yang menikah dengan
orang yang paling dekat.
Menikah adalah berurusan dengan akhirat, karena
salah-salah tanggung jawabnya ada diakhirat sana.

Keturunan

Orang Minang sangat memperhatikan asal usul
keturunannya. Dalam pemilihan jodoh misalnya orang
Minang akan selalu menanyakan nama suku seseorang,
dimana kampuang halamannya, siapa mamaknya, apa gelar
pusakanya, atau nama penghulunya. Hal ini dianggap
penting karena dihubungkan pula dengan martabat
dirinya (sementara dalam islam, kemuliaan seseorang
itu, atau martabat seseorang itu dinilai dari
ketaqwaannya, inna akramakum indallahi atqaakum).

Adanya ketentuan perkawinan adat Minang yang bersifat
Eksogami, maka peranan asal usul ini terutama
ketentuan tentang suku sangat penting. Dalam system
perkawinan eksogami, perkawinan antara pria dan wanita
dalam satu nagari hanya boleh dilakukan antara suku
yang berbeda. Perkawinan dalam suku yang serumpun
dilarang atau tabu, karena dianggap perkawinan
endogami yang tidak lazim di Minangkabau. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini, dapat dianggap perbuatan
sumbang.Perbuatan sumbang akan dikenakan hukum adat,
yakni dibuang sepanjang adat. Dikucilkan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan bias diusir
dari kampung halamannya.

Ketentuan asal usul ini sangat penting dalam penentuan
perkawinan adat Minang, pewarisan gelar pusaka dan
dalam pewarisan pusaka tinggi. Oleh karena sistem
persukuan didalam Minangkabau berdasarkan pada garis
keturunan ibu, yang lazim kita kenal dengan sistem
matrilineal, maka setiap anak yang dilahirkan dari
seorang ibu dari persukuan Minang, baik anak lelaki
maupun anak perempuan, otomatis menjadi anggota
pesukuan ibunya. Kalau ibunya berasal dari suku Jambak
maka semua anak-anaknya (tak peduli siapa bapaknya),
otomatis semuanya menjadi "suku Jambak" pula. Siapapun
yang mempunyai "suku" sesuai dengan ketentuan sistem
persukuan di Minang, kita disebut sebagai "orang
Minang".Lantas ada pertanyaan.: " Bagaimana dengan
anak yang lahir dari ibu non Minang, namun bapaknya
asli "orang Minang", apakah mereka boleh disebut orang
Minang. Apakah orang-orang non Minang yang bermukim di
Minang dapat disebut secara adat sebagai "orang
Minang". Mari kita pecahkan teka-teki ini, supaya anak
cucu kita tidak kebingungan terus menerus. Bagaimana
cara pemecahan anak-anak tak bersuku, yang lahir dari
sang bapak yang berasal dari Minang dan ibu non
Minang. Siapa yang memikirkan nasib "status" mereka
yang mengambang dari masa kemasa. Kenapa masyarakat
Minang tak peduli akan nasib mereka, yang jumlahnya
makin lama makin membludak, karena arus
'Indonesianisasi". Mari kita renungkan bersama
pemecahannya. Secara psikologis peningkatan status ini
akan sangat menentramkan bathin yang bersangkutan
termasuk kedua orang tuanya. Bertambah pesat kemajuan
nasionalisasi, harus diimbangi dengan peningkatan
kemudahan proses "malakok", kalau tidak demikian maka
orang Minang akan sangat merugi (Adat Minangkabau Amir
M.S, 175-176).

Terakhir, Pembaruan Adat Minang

Amir MS dalam bukunya Adat Minangkabau menyebutkan
hal-hal yang saya kira perlu kita renungkan dan
ditindak lanjuti, beliau menuliskan beberapa hal dan
memberikan beberapa pertanyaan kepada kita, yang mana
pertanyaan inilah yang selalu ada dibenak penulis
selama ini, antara lain:Adat adalah aturan berkelompok
(bermasyarakat) yang ditaati secara turun temurun.
Dalam tatanan adat Minang dibagi kedalam empat
kelompok sebagai berikut: 1.Adat nan sabana Adat, yang
dimaksudkan disini adalah aturan pokok dan falsafah
yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku
turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu,
dan keadaan sebagaimana dikiaskan dalam pepatah adat
:" Nan Indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek
ujan, paliang-paliang balumuik dek cindawan"

2.Adat nan Diadatkan

Merupakan aturan setempat diambil dari mufakat
dituangkan dalam pepatah :" Nan Elok dipakai jo
mufakat, nan buruak dibuang jo hetongan, Adat habih
dek bakarelahan.
3. Adat nan teradat merupakan kebiasaan individu
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, boleh
ditambah, dikurangi, atau ditinggalkan.
4.Adat Istiadat aneka kelaziman dalam suatu nagari
yang mengikuti suatu pasang naik, pasang surut seperti
acara-acara seni, perkawinan, randai dan sebagainya.

Supaya Adat Minang yang kita cintai ini tidak roboh,
maka yang pertama dan utama yang harus kita kerjakan
adalah membakukan rumusan mengenal apa yang kita
maksudkan dengan "Adat Nan sabana Adat"untuk
menyamakan persepsi atau pemahaman kita atas`istilah
itu. Realita sekarang ini menunjukkan banyak terdapat
perbedaan penafsiran apa yang disebut dengan "Adat nan
Sabana Adat", yang kita anggap sebagai akar tunggang,
atau tonggak tuonya adat Minang ini. Ada orang yang
berpendapat, yang dimaksud dengan adat nan sabana adat
adalah sesuatu yang seharusnya atau "Das Sollen", yang
bersumber pada kehendak Allah Subhanahu Wata'ala
seperti Adat Api, Panas, Adat air cair, membasahkan,
adat ayam berkokok"Pendapat semacam ini sepertinya
tidak logis.

Pemakaian kata "Adat" disini sudah salah kaprah, atau
dipaksakan. Kata adat disini lebih cocok diganti
dengan kata "Sifat", sehingga berbunyi:"Sifat Api
memanaskan, sifat air cair, membasahi dan
seterusnya".Adat adalah aturan yang diciptakan manusia
yaitu nenek moyang kita. Sedangkan sifat benda seperti
sifat api, air, batu, ayam dan lainnya bukanlah
ciptaan nenek moyang kita, melainkan ciptaan Tuhan.
Jadi tidak logis unsur-unsur adat nan sabana adapt itu
dimasukkan seperti sifat api, air, ayam, dan
sebagainya itu. Sekali lagi pengertian adat adalah
"Aturan manusia", bukan "Sifat yang diciptakan Tuhan".

Selanjutnya beliau berkomentar pengertian adat nan
sabana adat yang seperti itu, yang terdapat dalam
literature adat seperti Alam Takambang Jadi Guru dari
A.A. Navis, bahasa orang cerdik Minangkabau dari
Drs.M.S.Dt. Rajo Penghulu, bahkan terdapat dalam
majalah Kinantan, edisi Juli 1996 dari Emil Salim,
kiranya pantas dipertanyakan keabsahannya

Di Pihak lain terdapat pula penafsiran yang berbeda.
Menurut buku Tambo Alam Minangkabau dari H. Datoek
Toeah yang dikatakan adat nan sabana adat itu ialah
segala apa-apa hikmah yang diterima dari nabi Muhammad
berdasarkan firman-firman Tuhan dalam kitab suciNya,
dari sinilah diambil sumber-sumber adapt yang
sebenarnya sehingga dikatakan "Adat bersendikan
syara', syara' bersendikan kitabullah".Jika tafsiran
ini kita terima, maka hal itu berarti bahwa adat
Minang baru lahir setelah perang Paderi (abad ke- 19).
Apakah hal ini tidak menyesatkan?

Sebaliknya, apabila kita telah sepakat bahwa yang
dikatakan adat nan sabana adat itu, tidak lain adalah
AlQuran sebagai wahyu Illahi, dan Hadits sebagai
sunnah Rasul, kalau benar demikian, maka perlu
penegasan ulang bahwa penafsiran lain diluar itu
dianggap batal dan tak dapat dijadikan pegangan lagi
dalam ajaran adat Minang. Bila konseps ini diterima,
maka dengan sendirinya konsep masyarakat Minang,
identik dengan konsep masyarakat Islam.Dengan kata
lain, adat Minang dilebur secara keseluruhan kedalam
konsep masyarakat Islam.

Bila konsepsi ini yang kita terima sebagai suatu "Das
Sollen", maka konsekwensi logisnya adalah semua
aktualisasi dari ketentuan adat Minang yang sekarang
ada (das sein=realita) sudah harus mengacu secara
langsung dan intensif pada konsep masyarakat Islam.
Implikasi dari konsep ini adalah, bahwa kita sudah
harus mulai merombak keempat aspek utama seperti
diatas secara konsekwen. Ketentuan garis keturunan
yang sekarang dianut sesuai garis ibu (matrilineal)
harus dimulai dengan ketentuan Islam, menurut garis
bapak (patrilineal). Siapa yang memulai, ataukah sudah
ada yang memulai? Ikatan perkawinan yang menurut adat
berdasarkan pada pola matrilineal, kini harus dirobah
menjadi patrilokal, Induak-induak kini yang harus rela
pindah dan bermukim dilingkungan keluarga suami. Harta
kekayaan (harta pusako), yang kini dikuasai bundo
kanduang akan beralih menjadi kekuasaan kaum bapak,
sesuai dengan ketentuan patrilineal. Falsafah alam
takambang jadi guru, kiranya masih dapat diteruskan
dalam pola masyarakat patrilineal sesuai dengan ajaran
Islam.

Bila konsepsi ini diterima, meskipun lebih ideal
dibandingkan dengan konsepsi masyarakat adat yang
lama, namun peristiwa ini akan merupakan tamatnya
riwayat ;"Adat lamo, pusako usang, adat nan tak lakang
dek paneh, dan takkan lapuak dek ujan", namun kini
terkubur ditelan sejarah. Setujukah kita dengan
perubahan semacam ini? Mari kita renungkan dan pikiran
lebih mendalam dengan pikiran jernih sambil meminta
taufik dan hidayahNya. Terlebih dan terkurang mohon
dimaafkan. Tak ada gading yang tak retak, tak ada
manusia yang tidak memiliki kesalahan, dan tak ada
manusia yang sempurna.
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakaatuhu

Bukittinggi, 29 Mei 2007.Rahima.

Referensi :
1) AlQuranulkarim2) Al Miirats oleh Syeikh Abd.
Fath Abd. GhaniDarussalam Egypt3) Ahkamul mawarits
Komite Fakultas Syari'ah Al AzharMesir, terjemahan H.
Addys Lc, fathurrahman lc SenayanAbadi4) Adat
Minangkabau Amir, M.S. PT Mutiara Sumber Widya5)
Konflik Harta Warisan Drs. M.Syakroni, M.Ag
Pustakapelajar 6) Panduan lengkap Nikah Abu Hafsh
Usamah Ibnu Katsir
7)Pokok-pokok Pengetahuan Adat Minangkabau.H.Idrus
hakimy
8) Pegangan Penghulu, bundo kanduang.Idrus hakimy




____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search.
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, lihat di
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan
menyampaikan komitmen akan mematuhi Peraturan yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

hukum adat minag kabau

Sat, 09 Feb 2008 17:41:16 -0800

Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakaatuh.

Saya copykan makalah saya saat seminar 19-21 Juni 2007
di Unand kemaren. Sebenarnya, saya dah mempelajari
dulu bagaimana adat Minang itu,bukan hanya sekedar
mendengar, melihat sendiri, bahkan bertanya langsung
pada datuk, kebetulan keluarga saya banyak yang jadi
Datuk, juga via tulisan-tulisan dari buku-buku
pengarang yang berkompotent dibidang adat atau para
pakar Adat, sebagaimana yang tercantum dalam referensi
saya dibawah, atau disamping tanda kurung sebelumnya.

Seorang penulis makalah, dia tidak bisa menulis
makalahnya hanya berlandaskan ilmunya saja, tetapi ia
juga harus mempelajari juga apa yang berkaitan dengan
yang disampaikannya. Dan isi masalah adat Minangkabau,
bukan berasal dari pengetahuan saya, tetapi dari
buku-buku yang saya baca, terutama pertanyaan Amir
Syarifuddin pada bagian terakhir.Silahkan diruju' pada
kitab aslinya.

Sengaja ini saya tak kemukakan, hanya sekedar ingin
menarik lebih banyak lagi pendapat-pendapat dari
masyarakat Minang itu sendiri, karena kelak, skripsi
saya akan mengambil dari berbagai pihak.Baik
masyarakat, lihat realita, diskusi-diskusi, dllnya
ataupun yang dah tertulis, bahkan buku-buku karangan
ketua MUI Sumbar pun yang ada di toko buku saya
ludeskan membeli dan membacanya(selagi ada disana)

Sistem kekerabatan

Menurut para ahli antropologi tua pada abad ke – 19,
seperti J. Lublock, G.A Wilken, dan sebagainya,
manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo
dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok
keluarga Batih(nuclear family) yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak, seperti sekarang belum ada. Lambat
laun manusia sadar akan hubungan antara ibu dan
anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga. Oleh
karena itu anak-anak hanya mengenal ibunya, tidak
mengenal siapa ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih
ibu dan anak-anak inilah si ibu menjadi kepala
keluarga.

Dalam kelompok ini, mulai keluar aturan bahwa
persenggamahan (persetubuhan) antara ibu dan anak
lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu).Inilah
asal muasal perkawinan diluar batas kelompok sendiri
yang sekarang disebut dengan adat Eksogami. Artinya
perkawinan hanya boleh dilakukan pada pihak luar,
sedangkan perkawinan dalam kelompok serumpun tidak
diperkenankan sepanjang adapt

Dalam system kekerabatan matrilineal terdapat tiga
unsur yang paling dominan, yaitu:

Pertama : Garis keturunan menurut garis ibu.

Kedua : Perkawinan harus dengan kelompok lain,
diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan
istilah Eksogami matrilineal.

Ketiga : Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan,
pengamanan, kekayaan dan kesejahteraan keluarga

Menurut ajaran islam, agama satu-satunya yang dianut
orang Minang, dikatakan bahwa ada beberapa hal yang
mutlak hanya diketahui dan ditentukan oleh Tuhan untuk
masing-masing kita.
Pertama adalah umur kita sebagai manusia.Tidak
seorangpun tahu kapan ia akan mati.
Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya
dituntut berikhtiar dan berusaha, namun berapa rezeki
yang akan diberikan kepada kita secara mutlak
ditentukan oleh Allah ta'ala.
Ketiga adalahjodoh.Apapun upaya yang dilakukan anak
manusia, bagaimanapun cintanya ia kepada seseorang,
kalau Tuhan tidak mengizinkan perkawinan tidak akan
terlaksana.Sebaliknya kalau memang jodoh, kenal dua
minggupun perkawinan dapat terjadi.

Perkawinan Adat Minangkabau

Perkawinan menuntut tanggung jawab, antara lain
menyangkut nafkah lahir dan bathin, jaminan hidup, dan
pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Dari hal
diatas, antara adat dan agama islam di Minagkabau
membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat,
maupun ketentuan agama. Pelanggaran, apalagi
pendobrakan, terhadap salah satu ketentuan adat maupun
ketentuan agama Islam dalam masalah islam akan membawa
konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan
berkelanjutan pada keturunan.Hukuman yang dijatuhkan
oleh adat dan agama, walau dalam adat tak pernah
diundang-undangkan, sangat berat, bahkan kadangkala
jauh lebih berat daripada hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan agama maupun pengadilan Negara.

Menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya syarat-syarat
perkawinan dalam adat Minagkabau adalah sebagai
berikut: 1. Kedua calon mempelai harus beragama
Islam2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau
tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan
itu berasal dari nagari atau luhak yang lain. 3.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan
menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak
4. Calon suami(marapulai) harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin penghidupan
keluarganya. Perkawinan yang dilakukan tanpa melalui
syarat diatas dapat dianggap perkawinan sumbang atau
perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. (Adat Minangkabau pola dan tujuan hidup, Amir
MS h 23-25).


Perkawinan dalam Islam

Dalam Islam, perkawinan itu tidaklah begitu terlalu
dipersulit, tetapi juga tidak mudah
digampang-gampangkan. Didalam sebuah hadits Rasulullah
Shallallhu'alaihiwasallam, disebutkan bagaimana cara
seseorang mencari jodoh. "Wanita itu dinikahi dengan
empat perkara: Karena hartanya, karena kecantikannya,
karena nasab, atau keturunannya, dan karena agamanya,
maka pilihlah yang memiliki agama, engkau akan
beruntung".Jadi tidak ada disebutkan dalam agama
Islam, larangan untuk tidak boleh kawin sesuku.
Sepanjang dia adalah wanita atau lelaki bukan orang
yang diharamkan untuk untuk dinikahi seperti tercantum
dalam Q.S. Annisa 22, 23-24), dan beberapa ketentuan
hukum islam lainnya atas wanita-wanita yang haram
dinikahi.

Maka perkawinan boleh saja, asalkan rukun dan syarat
pernikahan terpenuhi, seperti ijab, kabul, ada kedua
mempelai, beragama Islam, ataupun boleh saja
perkawinan dengan ahli kitab yang asli dimana mereka
beriman kepada Allah, dan ahli kitab yang belum
menukar-nukar kitabnya, semasa zaman Rasulullah
dibolehkan, , kawin sesuku dibolehkan dalam Islam,
sepanjang itu halal baginya menurut kategori yang
telah ditentukan Islam. Allahsubhanahu wata'ala
berfirman yang artinya, "Kenapa kamu mengharamkan
apa-apa yang dihalalkan oleh Allah Ta'ala kepada
kamu". Rasulullah sendiripun sebagai utusan dan orang
terdekat dengan Allah Ta'ala pernah mendapat teguran
karena beliau telah menahan, atau melarang dirinya
dari memakan suatu yang halal dimakan beliau hanya
demi mencari keridhaan istrinya.
Dan ini hanya masalah makanan, masalah keduniawiyaan.
Apatah lagi kita sebagai manusia biasa, kenapa harus
ada larangan kawin sesuku, yang mana saja andaikan
sesuku kita tersebut adalah orang yang halal kita
nikahi menurut agama. Bahkan kenapa sampai mereka yang
menikah dengan sesuku harus diasingkan atau terkadang
sampai kena hukuman pula. Bukankah hal ini suatu hal
yang berbeda dengan hukum agama Islam? Adakah landasan
kita orang Minang dalam syara' atas larangan kawin
sesuku ini. Bukankah landasan kita orang Minang adalah
ABSSBK, sementara dalam syara' sendiri tidak ada
larangan kawin sesuku sepanjang orang tersebut halal
kita nikahi menurut agama, bukan orang yang haram kita
nikahi menurut ketentuan agama. Jangankan kawin
sesuku, kawin dengan sepupu, orang terdekat saja
dibolehkan dalam islam, sepanjang itu bukan yang
diharamkan, Fatimah dan Imam Ali karamahullahuwajhah,
keturunan Rasulullahpun banyak yang menikah dengan
orang yang paling dekat.
Menikah adalah berurusan dengan akhirat, karena
salah-salah tanggung jawabnya ada diakhirat sana.

Keturunan

Orang Minang sangat memperhatikan asal usul
keturunannya. Dalam pemilihan jodoh misalnya orang
Minang akan selalu menanyakan nama suku seseorang,
dimana kampuang halamannya, siapa mamaknya, apa gelar
pusakanya, atau nama penghulunya. Hal ini dianggap
penting karena dihubungkan pula dengan martabat
dirinya (sementara dalam islam, kemuliaan seseorang
itu, atau martabat seseorang itu dinilai dari
ketaqwaannya, inna akramakum indallahi atqaakum).

Adanya ketentuan perkawinan adat Minang yang bersifat
Eksogami, maka peranan asal usul ini terutama
ketentuan tentang suku sangat penting. Dalam system
perkawinan eksogami, perkawinan antara pria dan wanita
dalam satu nagari hanya boleh dilakukan antara suku
yang berbeda. Perkawinan dalam suku yang serumpun
dilarang atau tabu, karena dianggap perkawinan
endogami yang tidak lazim di Minangkabau. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini, dapat dianggap perbuatan
sumbang.Perbuatan sumbang akan dikenakan hukum adat,
yakni dibuang sepanjang adat. Dikucilkan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan bias diusir
dari kampung halamannya.

Ketentuan asal usul ini sangat penting dalam penentuan
perkawinan adat Minang, pewarisan gelar pusaka dan
dalam pewarisan pusaka tinggi. Oleh karena sistem
persukuan didalam Minangkabau berdasarkan pada garis
keturunan ibu, yang lazim kita kenal dengan sistem
matrilineal, maka setiap anak yang dilahirkan dari
seorang ibu dari persukuan Minang, baik anak lelaki
maupun anak perempuan, otomatis menjadi anggota
pesukuan ibunya. Kalau ibunya berasal dari suku Jambak
maka semua anak-anaknya (tak peduli siapa bapaknya),
otomatis semuanya menjadi "suku Jambak" pula. Siapapun
yang mempunyai "suku" sesuai dengan ketentuan sistem
persukuan di Minang, kita disebut sebagai "orang
Minang".Lantas ada pertanyaan.: " Bagaimana dengan
anak yang lahir dari ibu non Minang, namun bapaknya
asli "orang Minang", apakah mereka boleh disebut orang
Minang. Apakah orang-orang non Minang yang bermukim di
Minang dapat disebut secara adat sebagai "orang
Minang". Mari kita pecahkan teka-teki ini, supaya anak
cucu kita tidak kebingungan terus menerus. Bagaimana
cara pemecahan anak-anak tak bersuku, yang lahir dari
sang bapak yang berasal dari Minang dan ibu non
Minang. Siapa yang memikirkan nasib "status" mereka
yang mengambang dari masa kemasa. Kenapa masyarakat
Minang tak peduli akan nasib mereka, yang jumlahnya
makin lama makin membludak, karena arus
'Indonesianisasi". Mari kita renungkan bersama
pemecahannya. Secara psikologis peningkatan status ini
akan sangat menentramkan bathin yang bersangkutan
termasuk kedua orang tuanya. Bertambah pesat kemajuan
nasionalisasi, harus diimbangi dengan peningkatan
kemudahan proses "malakok", kalau tidak demikian maka
orang Minang akan sangat merugi (Adat Minangkabau Amir
M.S, 175-176).

Terakhir, Pembaruan Adat Minang

Amir MS dalam bukunya Adat Minangkabau menyebutkan
hal-hal yang saya kira perlu kita renungkan dan
ditindak lanjuti, beliau menuliskan beberapa hal dan
memberikan beberapa pertanyaan kepada kita, yang mana
pertanyaan inilah yang selalu ada dibenak penulis
selama ini, antara lain:Adat adalah aturan berkelompok
(bermasyarakat) yang ditaati secara turun temurun.
Dalam tatanan adat Minang dibagi kedalam empat
kelompok sebagai berikut: 1.Adat nan sabana Adat, yang
dimaksudkan disini adalah aturan pokok dan falsafah
yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku
turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu,
dan keadaan sebagaimana dikiaskan dalam pepatah adat
:" Nan Indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek
ujan, paliang-paliang balumuik dek cindawan"

2.Adat nan Diadatkan

Merupakan aturan setempat diambil dari mufakat
dituangkan dalam pepatah :" Nan Elok dipakai jo
mufakat, nan buruak dibuang jo hetongan, Adat habih
dek bakarelahan.
3. Adat nan teradat merupakan kebiasaan individu
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, boleh
ditambah, dikurangi, atau ditinggalkan.
4.Adat Istiadat aneka kelaziman dalam suatu nagari
yang mengikuti suatu pasang naik, pasang surut seperti
acara-acara seni, perkawinan, randai dan sebagainya.

Supaya Adat Minang yang kita cintai ini tidak roboh,
maka yang pertama dan utama yang harus kita kerjakan
adalah membakukan rumusan mengenal apa yang kita
maksudkan dengan "Adat Nan sabana Adat"untuk
menyamakan persepsi atau pemahaman kita atas`istilah
itu. Realita sekarang ini menunjukkan banyak terdapat
perbedaan penafsiran apa yang disebut dengan "Adat nan
Sabana Adat", yang kita anggap sebagai akar tunggang,
atau tonggak tuonya adat Minang ini. Ada orang yang
berpendapat, yang dimaksud dengan adat nan sabana adat
adalah sesuatu yang seharusnya atau "Das Sollen", yang
bersumber pada kehendak Allah Subhanahu Wata'ala
seperti Adat Api, Panas, Adat air cair, membasahkan,
adat ayam berkokok"Pendapat semacam ini sepertinya
tidak logis.

Pemakaian kata "Adat" disini sudah salah kaprah, atau
dipaksakan. Kata adat disini lebih cocok diganti
dengan kata "Sifat", sehingga berbunyi:"Sifat Api
memanaskan, sifat air cair, membasahi dan
seterusnya".Adat adalah aturan yang diciptakan manusia
yaitu nenek moyang kita. Sedangkan sifat benda seperti
sifat api, air, batu, ayam dan lainnya bukanlah
ciptaan nenek moyang kita, melainkan ciptaan Tuhan.
Jadi tidak logis unsur-unsur adat nan sabana adapt itu
dimasukkan seperti sifat api, air, ayam, dan
sebagainya itu. Sekali lagi pengertian adat adalah
"Aturan manusia", bukan "Sifat yang diciptakan Tuhan".

Selanjutnya beliau berkomentar pengertian adat nan
sabana adat yang seperti itu, yang terdapat dalam
literature adat seperti Alam Takambang Jadi Guru dari
A.A. Navis, bahasa orang cerdik Minangkabau dari
Drs.M.S.Dt. Rajo Penghulu, bahkan terdapat dalam
majalah Kinantan, edisi Juli 1996 dari Emil Salim,
kiranya pantas dipertanyakan keabsahannya

Di Pihak lain terdapat pula penafsiran yang berbeda.
Menurut buku Tambo Alam Minangkabau dari H. Datoek
Toeah yang dikatakan adat nan sabana adat itu ialah
segala apa-apa hikmah yang diterima dari nabi Muhammad
berdasarkan firman-firman Tuhan dalam kitab suciNya,
dari sinilah diambil sumber-sumber adapt yang
sebenarnya sehingga dikatakan "Adat bersendikan
syara', syara' bersendikan kitabullah".Jika tafsiran
ini kita terima, maka hal itu berarti bahwa adat
Minang baru lahir setelah perang Paderi (abad ke- 19).
Apakah hal ini tidak menyesatkan?

Sebaliknya, apabila kita telah sepakat bahwa yang
dikatakan adat nan sabana adat itu, tidak lain adalah
AlQuran sebagai wahyu Illahi, dan Hadits sebagai
sunnah Rasul, kalau benar demikian, maka perlu
penegasan ulang bahwa penafsiran lain diluar itu
dianggap batal dan tak dapat dijadikan pegangan lagi
dalam ajaran adat Minang. Bila konseps ini diterima,
maka dengan sendirinya konsep masyarakat Minang,
identik dengan konsep masyarakat Islam.Dengan kata
lain, adat Minang dilebur secara keseluruhan kedalam
konsep masyarakat Islam.

Bila konsepsi ini yang kita terima sebagai suatu "Das
Sollen", maka konsekwensi logisnya adalah semua
aktualisasi dari ketentuan adat Minang yang sekarang
ada (das sein=realita) sudah harus mengacu secara
langsung dan intensif pada konsep masyarakat Islam.
Implikasi dari konsep ini adalah, bahwa kita sudah
harus mulai merombak keempat aspek utama seperti
diatas secara konsekwen. Ketentuan garis keturunan
yang sekarang dianut sesuai garis ibu (matrilineal)
harus dimulai dengan ketentuan Islam, menurut garis
bapak (patrilineal). Siapa yang memulai, ataukah sudah
ada yang memulai? Ikatan perkawinan yang menurut adat
berdasarkan pada pola matrilineal, kini harus dirobah
menjadi patrilokal, Induak-induak kini yang harus rela
pindah dan bermukim dilingkungan keluarga suami. Harta
kekayaan (harta pusako), yang kini dikuasai bundo
kanduang akan beralih menjadi kekuasaan kaum bapak,
sesuai dengan ketentuan patrilineal. Falsafah alam
takambang jadi guru, kiranya masih dapat diteruskan
dalam pola masyarakat patrilineal sesuai dengan ajaran
Islam.

Bila konsepsi ini diterima, meskipun lebih ideal
dibandingkan dengan konsepsi masyarakat adat yang
lama, namun peristiwa ini akan merupakan tamatnya
riwayat ;"Adat lamo, pusako usang, adat nan tak lakang
dek paneh, dan takkan lapuak dek ujan", namun kini
terkubur ditelan sejarah. Setujukah kita dengan
perubahan semacam ini? Mari kita renungkan dan pikiran
lebih mendalam dengan pikiran jernih sambil meminta
taufik dan hidayahNya. Terlebih dan terkurang mohon
dimaafkan. Tak ada gading yang tak retak, tak ada
manusia yang tidak memiliki kesalahan, dan tak ada
manusia yang sempurna.
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakaatuhu

Bukittinggi, 29 Mei 2007.Rahima.

Referensi :
1) AlQuranulkarim2) Al Miirats oleh Syeikh Abd.
Fath Abd. GhaniDarussalam Egypt3) Ahkamul mawarits
Komite Fakultas Syari'ah Al AzharMesir, terjemahan H.
Addys Lc, fathurrahman lc SenayanAbadi4) Adat
Minangkabau Amir, M.S. PT Mutiara Sumber Widya5)
Konflik Harta Warisan Drs. M.Syakroni, M.Ag
Pustakapelajar 6) Panduan lengkap Nikah Abu Hafsh
Usamah Ibnu Katsir
7)Pokok-pokok Pengetahuan Adat Minangkabau.H.Idrus
hakimy
8) Pegangan Penghulu, bundo kanduang.Idrus hakimy




____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search.
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, lihat di
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan
menyampaikan komitmen akan mematuhi Peraturan yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

hukum adat minag kabau

Sat, 09 Feb 2008 17:41:16 -0800

Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakaatuh.

Saya copykan makalah saya saat seminar 19-21 Juni 2007
di Unand kemaren. Sebenarnya, saya dah mempelajari
dulu bagaimana adat Minang itu,bukan hanya sekedar
mendengar, melihat sendiri, bahkan bertanya langsung
pada datuk, kebetulan keluarga saya banyak yang jadi
Datuk, juga via tulisan-tulisan dari buku-buku
pengarang yang berkompotent dibidang adat atau para
pakar Adat, sebagaimana yang tercantum dalam referensi
saya dibawah, atau disamping tanda kurung sebelumnya.

Seorang penulis makalah, dia tidak bisa menulis
makalahnya hanya berlandaskan ilmunya saja, tetapi ia
juga harus mempelajari juga apa yang berkaitan dengan
yang disampaikannya. Dan isi masalah adat Minangkabau,
bukan berasal dari pengetahuan saya, tetapi dari
buku-buku yang saya baca, terutama pertanyaan Amir
Syarifuddin pada bagian terakhir.Silahkan diruju' pada
kitab aslinya.

Sengaja ini saya tak kemukakan, hanya sekedar ingin
menarik lebih banyak lagi pendapat-pendapat dari
masyarakat Minang itu sendiri, karena kelak, skripsi
saya akan mengambil dari berbagai pihak.Baik
masyarakat, lihat realita, diskusi-diskusi, dllnya
ataupun yang dah tertulis, bahkan buku-buku karangan
ketua MUI Sumbar pun yang ada di toko buku saya
ludeskan membeli dan membacanya(selagi ada disana)

Sistem kekerabatan

Menurut para ahli antropologi tua pada abad ke – 19,
seperti J. Lublock, G.A Wilken, dan sebagainya,
manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo
dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok
keluarga Batih(nuclear family) yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak, seperti sekarang belum ada. Lambat
laun manusia sadar akan hubungan antara ibu dan
anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga. Oleh
karena itu anak-anak hanya mengenal ibunya, tidak
mengenal siapa ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih
ibu dan anak-anak inilah si ibu menjadi kepala
keluarga.

Dalam kelompok ini, mulai keluar aturan bahwa
persenggamahan (persetubuhan) antara ibu dan anak
lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu).Inilah
asal muasal perkawinan diluar batas kelompok sendiri
yang sekarang disebut dengan adat Eksogami. Artinya
perkawinan hanya boleh dilakukan pada pihak luar,
sedangkan perkawinan dalam kelompok serumpun tidak
diperkenankan sepanjang adapt

Dalam system kekerabatan matrilineal terdapat tiga
unsur yang paling dominan, yaitu:

Pertama : Garis keturunan menurut garis ibu.

Kedua : Perkawinan harus dengan kelompok lain,
diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan
istilah Eksogami matrilineal.

Ketiga : Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan,
pengamanan, kekayaan dan kesejahteraan keluarga

Menurut ajaran islam, agama satu-satunya yang dianut
orang Minang, dikatakan bahwa ada beberapa hal yang
mutlak hanya diketahui dan ditentukan oleh Tuhan untuk
masing-masing kita.
Pertama adalah umur kita sebagai manusia.Tidak
seorangpun tahu kapan ia akan mati.
Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya
dituntut berikhtiar dan berusaha, namun berapa rezeki
yang akan diberikan kepada kita secara mutlak
ditentukan oleh Allah ta'ala.
Ketiga adalahjodoh.Apapun upaya yang dilakukan anak
manusia, bagaimanapun cintanya ia kepada seseorang,
kalau Tuhan tidak mengizinkan perkawinan tidak akan
terlaksana.Sebaliknya kalau memang jodoh, kenal dua
minggupun perkawinan dapat terjadi.

Perkawinan Adat Minangkabau

Perkawinan menuntut tanggung jawab, antara lain
menyangkut nafkah lahir dan bathin, jaminan hidup, dan
pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Dari hal
diatas, antara adat dan agama islam di Minagkabau
membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat,
maupun ketentuan agama. Pelanggaran, apalagi
pendobrakan, terhadap salah satu ketentuan adat maupun
ketentuan agama Islam dalam masalah islam akan membawa
konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan
berkelanjutan pada keturunan.Hukuman yang dijatuhkan
oleh adat dan agama, walau dalam adat tak pernah
diundang-undangkan, sangat berat, bahkan kadangkala
jauh lebih berat daripada hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan agama maupun pengadilan Negara.

Menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya syarat-syarat
perkawinan dalam adat Minagkabau adalah sebagai
berikut: 1. Kedua calon mempelai harus beragama
Islam2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau
tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan
itu berasal dari nagari atau luhak yang lain. 3.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan
menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak
4. Calon suami(marapulai) harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin penghidupan
keluarganya. Perkawinan yang dilakukan tanpa melalui
syarat diatas dapat dianggap perkawinan sumbang atau
perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. (Adat Minangkabau pola dan tujuan hidup, Amir
MS h 23-25).


Perkawinan dalam Islam

Dalam Islam, perkawinan itu tidaklah begitu terlalu
dipersulit, tetapi juga tidak mudah
digampang-gampangkan. Didalam sebuah hadits Rasulullah
Shallallhu'alaihiwasallam, disebutkan bagaimana cara
seseorang mencari jodoh. "Wanita itu dinikahi dengan
empat perkara: Karena hartanya, karena kecantikannya,
karena nasab, atau keturunannya, dan karena agamanya,
maka pilihlah yang memiliki agama, engkau akan
beruntung".Jadi tidak ada disebutkan dalam agama
Islam, larangan untuk tidak boleh kawin sesuku.
Sepanjang dia adalah wanita atau lelaki bukan orang
yang diharamkan untuk untuk dinikahi seperti tercantum
dalam Q.S. Annisa 22, 23-24), dan beberapa ketentuan
hukum islam lainnya atas wanita-wanita yang haram
dinikahi.

Maka perkawinan boleh saja, asalkan rukun dan syarat
pernikahan terpenuhi, seperti ijab, kabul, ada kedua
mempelai, beragama Islam, ataupun boleh saja
perkawinan dengan ahli kitab yang asli dimana mereka
beriman kepada Allah, dan ahli kitab yang belum
menukar-nukar kitabnya, semasa zaman Rasulullah
dibolehkan, , kawin sesuku dibolehkan dalam Islam,
sepanjang itu halal baginya menurut kategori yang
telah ditentukan Islam. Allahsubhanahu wata'ala
berfirman yang artinya, "Kenapa kamu mengharamkan
apa-apa yang dihalalkan oleh Allah Ta'ala kepada
kamu". Rasulullah sendiripun sebagai utusan dan orang
terdekat dengan Allah Ta'ala pernah mendapat teguran
karena beliau telah menahan, atau melarang dirinya
dari memakan suatu yang halal dimakan beliau hanya
demi mencari keridhaan istrinya.
Dan ini hanya masalah makanan, masalah keduniawiyaan.
Apatah lagi kita sebagai manusia biasa, kenapa harus
ada larangan kawin sesuku, yang mana saja andaikan
sesuku kita tersebut adalah orang yang halal kita
nikahi menurut agama. Bahkan kenapa sampai mereka yang
menikah dengan sesuku harus diasingkan atau terkadang
sampai kena hukuman pula. Bukankah hal ini suatu hal
yang berbeda dengan hukum agama Islam? Adakah landasan
kita orang Minang dalam syara' atas larangan kawin
sesuku ini. Bukankah landasan kita orang Minang adalah
ABSSBK, sementara dalam syara' sendiri tidak ada
larangan kawin sesuku sepanjang orang tersebut halal
kita nikahi menurut agama, bukan orang yang haram kita
nikahi menurut ketentuan agama. Jangankan kawin
sesuku, kawin dengan sepupu, orang terdekat saja
dibolehkan dalam islam, sepanjang itu bukan yang
diharamkan, Fatimah dan Imam Ali karamahullahuwajhah,
keturunan Rasulullahpun banyak yang menikah dengan
orang yang paling dekat.
Menikah adalah berurusan dengan akhirat, karena
salah-salah tanggung jawabnya ada diakhirat sana.

Keturunan

Orang Minang sangat memperhatikan asal usul
keturunannya. Dalam pemilihan jodoh misalnya orang
Minang akan selalu menanyakan nama suku seseorang,
dimana kampuang halamannya, siapa mamaknya, apa gelar
pusakanya, atau nama penghulunya. Hal ini dianggap
penting karena dihubungkan pula dengan martabat
dirinya (sementara dalam islam, kemuliaan seseorang
itu, atau martabat seseorang itu dinilai dari
ketaqwaannya, inna akramakum indallahi atqaakum).

Adanya ketentuan perkawinan adat Minang yang bersifat
Eksogami, maka peranan asal usul ini terutama
ketentuan tentang suku sangat penting. Dalam system
perkawinan eksogami, perkawinan antara pria dan wanita
dalam satu nagari hanya boleh dilakukan antara suku
yang berbeda. Perkawinan dalam suku yang serumpun
dilarang atau tabu, karena dianggap perkawinan
endogami yang tidak lazim di Minangkabau. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini, dapat dianggap perbuatan
sumbang.Perbuatan sumbang akan dikenakan hukum adat,
yakni dibuang sepanjang adat. Dikucilkan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan bias diusir
dari kampung halamannya.

Ketentuan asal usul ini sangat penting dalam penentuan
perkawinan adat Minang, pewarisan gelar pusaka dan
dalam pewarisan pusaka tinggi. Oleh karena sistem
persukuan didalam Minangkabau berdasarkan pada garis
keturunan ibu, yang lazim kita kenal dengan sistem
matrilineal, maka setiap anak yang dilahirkan dari
seorang ibu dari persukuan Minang, baik anak lelaki
maupun anak perempuan, otomatis menjadi anggota
pesukuan ibunya. Kalau ibunya berasal dari suku Jambak
maka semua anak-anaknya (tak peduli siapa bapaknya),
otomatis semuanya menjadi "suku Jambak" pula. Siapapun
yang mempunyai "suku" sesuai dengan ketentuan sistem
persukuan di Minang, kita disebut sebagai "orang
Minang".Lantas ada pertanyaan.: " Bagaimana dengan
anak yang lahir dari ibu non Minang, namun bapaknya
asli "orang Minang", apakah mereka boleh disebut orang
Minang. Apakah orang-orang non Minang yang bermukim di
Minang dapat disebut secara adat sebagai "orang
Minang". Mari kita pecahkan teka-teki ini, supaya anak
cucu kita tidak kebingungan terus menerus. Bagaimana
cara pemecahan anak-anak tak bersuku, yang lahir dari
sang bapak yang berasal dari Minang dan ibu non
Minang. Siapa yang memikirkan nasib "status" mereka
yang mengambang dari masa kemasa. Kenapa masyarakat
Minang tak peduli akan nasib mereka, yang jumlahnya
makin lama makin membludak, karena arus
'Indonesianisasi". Mari kita renungkan bersama
pemecahannya. Secara psikologis peningkatan status ini
akan sangat menentramkan bathin yang bersangkutan
termasuk kedua orang tuanya. Bertambah pesat kemajuan
nasionalisasi, harus diimbangi dengan peningkatan
kemudahan proses "malakok", kalau tidak demikian maka
orang Minang akan sangat merugi (Adat Minangkabau Amir
M.S, 175-176).

Terakhir, Pembaruan Adat Minang

Amir MS dalam bukunya Adat Minangkabau menyebutkan
hal-hal yang saya kira perlu kita renungkan dan
ditindak lanjuti, beliau menuliskan beberapa hal dan
memberikan beberapa pertanyaan kepada kita, yang mana
pertanyaan inilah yang selalu ada dibenak penulis
selama ini, antara lain:Adat adalah aturan berkelompok
(bermasyarakat) yang ditaati secara turun temurun.
Dalam tatanan adat Minang dibagi kedalam empat
kelompok sebagai berikut: 1.Adat nan sabana Adat, yang
dimaksudkan disini adalah aturan pokok dan falsafah
yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku
turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu,
dan keadaan sebagaimana dikiaskan dalam pepatah adat
:" Nan Indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek
ujan, paliang-paliang balumuik dek cindawan"

2.Adat nan Diadatkan

Merupakan aturan setempat diambil dari mufakat
dituangkan dalam pepatah :" Nan Elok dipakai jo
mufakat, nan buruak dibuang jo hetongan, Adat habih
dek bakarelahan.
3. Adat nan teradat merupakan kebiasaan individu
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, boleh
ditambah, dikurangi, atau ditinggalkan.
4.Adat Istiadat aneka kelaziman dalam suatu nagari
yang mengikuti suatu pasang naik, pasang surut seperti
acara-acara seni, perkawinan, randai dan sebagainya.

Supaya Adat Minang yang kita cintai ini tidak roboh,
maka yang pertama dan utama yang harus kita kerjakan
adalah membakukan rumusan mengenal apa yang kita
maksudkan dengan "Adat Nan sabana Adat"untuk
menyamakan persepsi atau pemahaman kita atas`istilah
itu. Realita sekarang ini menunjukkan banyak terdapat
perbedaan penafsiran apa yang disebut dengan "Adat nan
Sabana Adat", yang kita anggap sebagai akar tunggang,
atau tonggak tuonya adat Minang ini. Ada orang yang
berpendapat, yang dimaksud dengan adat nan sabana adat
adalah sesuatu yang seharusnya atau "Das Sollen", yang
bersumber pada kehendak Allah Subhanahu Wata'ala
seperti Adat Api, Panas, Adat air cair, membasahkan,
adat ayam berkokok"Pendapat semacam ini sepertinya
tidak logis.

Pemakaian kata "Adat" disini sudah salah kaprah, atau
dipaksakan. Kata adat disini lebih cocok diganti
dengan kata "Sifat", sehingga berbunyi:"Sifat Api
memanaskan, sifat air cair, membasahi dan
seterusnya".Adat adalah aturan yang diciptakan manusia
yaitu nenek moyang kita. Sedangkan sifat benda seperti
sifat api, air, batu, ayam dan lainnya bukanlah
ciptaan nenek moyang kita, melainkan ciptaan Tuhan.
Jadi tidak logis unsur-unsur adat nan sabana adapt itu
dimasukkan seperti sifat api, air, ayam, dan
sebagainya itu. Sekali lagi pengertian adat adalah
"Aturan manusia", bukan "Sifat yang diciptakan Tuhan".

Selanjutnya beliau berkomentar pengertian adat nan
sabana adat yang seperti itu, yang terdapat dalam
literature adat seperti Alam Takambang Jadi Guru dari
A.A. Navis, bahasa orang cerdik Minangkabau dari
Drs.M.S.Dt. Rajo Penghulu, bahkan terdapat dalam
majalah Kinantan, edisi Juli 1996 dari Emil Salim,
kiranya pantas dipertanyakan keabsahannya

Di Pihak lain terdapat pula penafsiran yang berbeda.
Menurut buku Tambo Alam Minangkabau dari H. Datoek
Toeah yang dikatakan adat nan sabana adat itu ialah
segala apa-apa hikmah yang diterima dari nabi Muhammad
berdasarkan firman-firman Tuhan dalam kitab suciNya,
dari sinilah diambil sumber-sumber adapt yang
sebenarnya sehingga dikatakan "Adat bersendikan
syara', syara' bersendikan kitabullah".Jika tafsiran
ini kita terima, maka hal itu berarti bahwa adat
Minang baru lahir setelah perang Paderi (abad ke- 19).
Apakah hal ini tidak menyesatkan?

Sebaliknya, apabila kita telah sepakat bahwa yang
dikatakan adat nan sabana adat itu, tidak lain adalah
AlQuran sebagai wahyu Illahi, dan Hadits sebagai
sunnah Rasul, kalau benar demikian, maka perlu
penegasan ulang bahwa penafsiran lain diluar itu
dianggap batal dan tak dapat dijadikan pegangan lagi
dalam ajaran adat Minang. Bila konseps ini diterima,
maka dengan sendirinya konsep masyarakat Minang,
identik dengan konsep masyarakat Islam.Dengan kata
lain, adat Minang dilebur secara keseluruhan kedalam
konsep masyarakat Islam.

Bila konsepsi ini yang kita terima sebagai suatu "Das
Sollen", maka konsekwensi logisnya adalah semua
aktualisasi dari ketentuan adat Minang yang sekarang
ada (das sein=realita) sudah harus mengacu secara
langsung dan intensif pada konsep masyarakat Islam.
Implikasi dari konsep ini adalah, bahwa kita sudah
harus mulai merombak keempat aspek utama seperti
diatas secara konsekwen. Ketentuan garis keturunan
yang sekarang dianut sesuai garis ibu (matrilineal)
harus dimulai dengan ketentuan Islam, menurut garis
bapak (patrilineal). Siapa yang memulai, ataukah sudah
ada yang memulai? Ikatan perkawinan yang menurut adat
berdasarkan pada pola matrilineal, kini harus dirobah
menjadi patrilokal, Induak-induak kini yang harus rela
pindah dan bermukim dilingkungan keluarga suami. Harta
kekayaan (harta pusako), yang kini dikuasai bundo
kanduang akan beralih menjadi kekuasaan kaum bapak,
sesuai dengan ketentuan patrilineal. Falsafah alam
takambang jadi guru, kiranya masih dapat diteruskan
dalam pola masyarakat patrilineal sesuai dengan ajaran
Islam.

Bila konsepsi ini diterima, meskipun lebih ideal
dibandingkan dengan konsepsi masyarakat adat yang
lama, namun peristiwa ini akan merupakan tamatnya
riwayat ;"Adat lamo, pusako usang, adat nan tak lakang
dek paneh, dan takkan lapuak dek ujan", namun kini
terkubur ditelan sejarah. Setujukah kita dengan
perubahan semacam ini? Mari kita renungkan dan pikiran
lebih mendalam dengan pikiran jernih sambil meminta
taufik dan hidayahNya. Terlebih dan terkurang mohon
dimaafkan. Tak ada gading yang tak retak, tak ada
manusia yang tidak memiliki kesalahan, dan tak ada
manusia yang sempurna.
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakaatuhu

Bukittinggi, 29 Mei 2007.Rahima.

Referensi :
1) AlQuranulkarim2) Al Miirats oleh Syeikh Abd.
Fath Abd. GhaniDarussalam Egypt3) Ahkamul mawarits
Komite Fakultas Syari'ah Al AzharMesir, terjemahan H.
Addys Lc, fathurrahman lc SenayanAbadi4) Adat
Minangkabau Amir, M.S. PT Mutiara Sumber Widya5)
Konflik Harta Warisan Drs. M.Syakroni, M.Ag
Pustakapelajar 6) Panduan lengkap Nikah Abu Hafsh
Usamah Ibnu Katsir
7)Pokok-pokok Pengetahuan Adat Minangkabau.H.Idrus
hakimy
8) Pegangan Penghulu, bundo kanduang.Idrus hakimy




____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search.
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, lihat di
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan
menyampaikan komitmen akan mematuhi Peraturan yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Minggu, 14 Maret 2010

Definisi Fatwa

Imam Ibnu Mandzur di dalam Lisaan al-Arab menyatakan, ”Aftaahu fi al-amr abaanahu lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa aftaa al-rajulu fi al-mas`alah (seorang laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). wa astaftaituhu fiihaa fa aftaaniy iftaa`an wa futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku sebuah fatwa)”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 15, hal. 145]

Sedangkan perkataan ”wa fataay” adalah asal dari kata futya atau fatway. Futya dan fatwa adalah dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al-iftaa’. Oleh karena itu, dinyatakan ”aftaitu fulaanan ru’yan ra`aaha idza ’abartuhaa lahu (aku memfatwakan kepada si fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskannya kepada dirinya). Wa aftaituhu fi mas`alatihi idza ajabtuhu ’anhaa (aku berfatwa mengenai masalahnya jika aku telah menjelaskan jawaban atas masalah itu). [Ibid, juz 15, hal. 145]

Pengarang Aun al-Ma’bud menyatakan, ”Sesungguhnya, makna dari ”kata al-futya wa futway” adalah apa-apa yang difatwakan oleh seorang faqih atau muftiy”. Dinyatakan : aftaahu fi al-mas`alah: ay ajaabahu (saya menyampaikan fatwa kepadanya dalam suatu masalah: maksudnya saya menjawabnya)…”[’Aun al-Ma’buud, juz 1, hal. 245]

Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan ”aftay fi al-mas`alah : menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (ibaanat al-ahkaam fi al-mas`alah al-syar’iyyah, au qanuuniyyah, au ghairihaa mimmaa yata’allaqu bisu`aal al-saail). Al-Muftiy adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa di tengah-tengah masyarakat. Mufti adalah seorang faqih yang diangkat oleh negara untuk menjawab persoalan-persoalan…Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa’ berdasarkan makna bahasanya. Oleh karena itu, fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Jika mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti…”[Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kedudukan Fatwa
Kedudukan fatwa dalam Islam sangatlah penting dan tidak bisa dengan mudah diabaikan, apalagi digugurkan. Karena sangat pentingnya dengan keberadaan fatwa dalam Islam, sampai-sampai beberapa ulama berpendapat diharamkan tinggal di sebuah tempat yang tidak terdapat seorang mufti yang bisa dijadikan tempat bertanya tentang persoalan agama (Lihat Kitab Al Bahr Ar Ra’iq 6/260, Al Furu’ 4/119, Al Majmu’ 1/47, Kasyaf Al Qana’ 4/177).

Maka dari itu, wajib bagi penguasa untuk memperhatikan sarana-sarana penting guna mempersiapkan para mufti dalam rangka menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, sekaligus melarang bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian dalam berfatwa. (Lihat Al Majmu’ 1/ 69, I’lam Al Muwaqqi’in 4/214, Al Faqih wa Al Mutafaqqih 2/55, Al Ahkam Al Sulthoniyah, 55).

Karena sangat pentingnya bahwa mufti di hadapan umat memiliki posisi seperti halnya nabi di hadapan umat, karena mufti memberi kabar dari Allah Subhana wa ta’ala seperti nabi. Oleh karena itu, mereka dinamakan ulil amri yang mana ketaatan pada mereka disejajarkan dengan taatnya seorang hamba kepada Allah dan RasulNya. Dalam Al Qur’an surat An Nisa’ 59 Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul beserta ulil amri dari kalian” (Lihat Kitab Al Muwafaqat 4/178-179).

Imam Al Qarafi sendiri menyatakan bahwa mufti dihadapan Allah ibarat s kedudukan eoarang penerjemah di hadapan hakim, yang menerjemahkan keputusan hukum, tanpa mengurangi dan menambahnya, sedangkan qadhi adalah “aparat” untuk melaksanakan putusan itu (Lihat, Kitab Ihkam fi Tamyizi Al Fatawa min Al Ahkam, 30).

Tampaknya, para penentang fatwa kurang memahami dengan baik pentingnya fatwa dan mufti dalam Islam. Hingga “amat ringan” dalam melontarkan pernyataan-pernyataan yang berkesan “merendahkan” otoritas keilmuan para ulama.
Pengertian Fatwa

Al-fatwa secara bahasa berarti petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa. Sedangkan dalam istilah Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminita fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminita fatwa tesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminita fatwa disebut al-mustafti (Ensiklopedi Hukum Islam).

Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Ifta hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.

Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.

Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :

1) Apa hukum atas masalah yang dimaksud.

2) Apakah dalilnya

3) Apa wajh dalalah-nya.

4) Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.

Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.

Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.

Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.

Demikianlah kedudukan fatwa dalam jurisprudensi Islam. Walhasil, setiap fatwa yang bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah yang qath’i adalah fatwa yang batil, tidak sah dan termasuk kebohongan atas nama Allah terhadap umat.

Di Indonesia, lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI ini di Indonesia membawahi semua kegiatan keagamaan, khususnya agama Islam.