Seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.
Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan delapan batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu”.
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan tujuh batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan.
Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa.
Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.
“Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.
Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
Istirahat bukan berarti berhenti. Tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi. Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas keseharian. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=163077073977
Selasa, 24 November 2009
Bagaimana menundukan nafsu
Seorang murid yang sedang bersungguh-sungguh menundukkan nafsunya menghampiri gurunya dan berkata, "Guru, sudah berapa lama aku berusaha menundukkan nafsu liarku ini, namun selalu saja aku tergelincir dan kalah. Apa yang harus kulakukan?" Guru yang bijak ini tidak segera menjawab pertanyaan muridnya, namun mengajaknya pergi ke rumah orang kaya dan terkenal dengan kedermawanannya, di desa tempat mereka tinggal.
Ketika sampai di gerbang pintu rumah si kaya itu, tiba-tiba dua ekor anjing besar dan buas segera berlari sambil menggonggong dengan keras menghampiri mereka berdua yang berada di luar gerbang. Murid itu terperanjat dan takut, sambil memandangi gurunya penuh keheranan, karena belum menjawab pertanyaannya tadi.
“Apa yang harus kita lakukan untuk masuk ke rumah orang kaya ini, supaya kita dapat mencicipi kedermawanannya? Apakah kita lawan anjing buas miliknya ini?” Tanya guru. Sambil mengerenyitkan dahi keheranan dengan kenaifan gurunya pikirnya, ia menjawab, “Guru, bukankah lebih baik kita memanggil pemilik anjing ini agar menenangkan dua anjing buasnya, lalu kita dapat masuk ke rumahnya dan merasakan hidangannya?”
Sambil tersenyum guru itu berkata, “Bagus, kau telah menjawab pertanyaanmu tadi.”
Namun murid itu masih bingung, “Maksud guru?” tanyanya.
Guru bijak itu lalu menjelaskan, “Nafsumu ibarat anjing buas ini yang menghalangimu untuk mencicipi kedermawanan Tuhanmu. Jika engkau melawannya dengan kekuatanmu sendiri, maka kau akan hancur dan tak pernah sampai ke rumah Tuhanmu. Cara yang cepat dan aman untuk semua itu, panggillah Tuhanmu dan mintalah Dia menenangkan nafsu liarmu yang milik-Nya itu, agar kau dapat masuk ke hadirat-Nya.”
Ketika sampai di gerbang pintu rumah si kaya itu, tiba-tiba dua ekor anjing besar dan buas segera berlari sambil menggonggong dengan keras menghampiri mereka berdua yang berada di luar gerbang. Murid itu terperanjat dan takut, sambil memandangi gurunya penuh keheranan, karena belum menjawab pertanyaannya tadi.
“Apa yang harus kita lakukan untuk masuk ke rumah orang kaya ini, supaya kita dapat mencicipi kedermawanannya? Apakah kita lawan anjing buas miliknya ini?” Tanya guru. Sambil mengerenyitkan dahi keheranan dengan kenaifan gurunya pikirnya, ia menjawab, “Guru, bukankah lebih baik kita memanggil pemilik anjing ini agar menenangkan dua anjing buasnya, lalu kita dapat masuk ke rumahnya dan merasakan hidangannya?”
Sambil tersenyum guru itu berkata, “Bagus, kau telah menjawab pertanyaanmu tadi.”
Namun murid itu masih bingung, “Maksud guru?” tanyanya.
Guru bijak itu lalu menjelaskan, “Nafsumu ibarat anjing buas ini yang menghalangimu untuk mencicipi kedermawanan Tuhanmu. Jika engkau melawannya dengan kekuatanmu sendiri, maka kau akan hancur dan tak pernah sampai ke rumah Tuhanmu. Cara yang cepat dan aman untuk semua itu, panggillah Tuhanmu dan mintalah Dia menenangkan nafsu liarmu yang milik-Nya itu, agar kau dapat masuk ke hadirat-Nya.”
Belajar dari iblis
Abu Hurairah bercerita : Suatu hari Rasulullah Saw menugaskanku untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki melihat-lihat makanan dan langsung mengambilnya. Aku lalu menegurnya, “Jangan dulu mengambil, sebelum kusampaikan tentangmu kepada Rasulullah.”
Laki-laki itu menjawab, “Aku sudah berkeluarga dan saat ini betul-betul membutuhkan makanan untuk mereka.” Mendengar itu, aku akhirnya mengijinkan dia mengambil makanan itu.
Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang kau lakukan semalam?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, seorang laku-laki mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu aku persilahkan dia mengambilnya.”
Rasulullah Saw lalu bersabda kembali, “Dia telah mengelabuimu wahai Abu Hurairah, dan esok akan kembali lagi.”
Karena tahu akan datang lagi, keesokan harinya aku mengawasinya dengan teliti dan ternyata betul apa yang disampikan Raulullah, ia telah berada di ruang zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu dia mengambilnya.
Melihat itu, aku berkata kembali, “Jangan kau ambil dulu harta itu sampai ada ijin dari Rasulullah Saw.” Laki-laki itu menjawab, “Aku betul-betul sangat membutuhkan makanan itu sekarang, keluargaku kini sedang menunggu menahan lapar. Aku berjani tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, aku merasa kasihan dan akhirnya aku persilahkan kembali dia mengambil harta zakat.
Keesokan harinya, Rasulullah bertanya kembali, “Apa yang kau lakukan kemarin wahai Abu Hurairah?” Aku menjawab, “Orang yang kemarin datang lagi dan meminta harta zakat. Karena keluarganya telah lama menuggu kelaparan, akhirnya aku kembali mengizinkan dia mengambil harta zakat tersebut. Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda kembali, “Dia telah membohongimu, dan besok ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya.”
Ternyata laki-laki itu kembali lagi. Seperti biasa, dia mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, aku kembali menegurnya, “Jangan mengambil dahulu, aku akan memohon izin kepada Rasulullah Saw terlebih dahulu. Bukankah kau kemarin berjanji untuk tidak datang lagi, tapi kenapa kau kembali juga?” laki-laki itu menjawab, “Izinkanlah untuk yang terakhir kalinya aku mengambil harta zakat ini, dan sebagai imbalannya aku akan ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang apabila kau membacanya, Allah akan selalu menjagamu dan kau tidak akan disentuh dan didekati setan hingga pagi hari.”
Aku tertarik dengan ucapannya. Aku pun menanyakan kalimat apakah itu. Dia menjawab, “Apabila kau hendak tidur jangan lupa membaca ayat kursi terlebih dahulu, karena dengannya Allah akan menjagamu dan kau tidak akan didekati setan hingga pagi tiba.”
Kali ini aku pun mengijinkannya mengambil harta zakat. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah kulakukan kemarin dan kukatakan, “Ya Rasulullah, aku terpaksa membolehkannya kembali mengambil zakat setelah dia mengajarkanku kalimat yang sangat bermanfaat.”
Lalu Rasulpun bertanya, “Kalimat apakah yang diajarkannya?” Aku menjawab bahwa dia mengajarkanku ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau aku membacanya, Allah akan menjagaku sampai pagi hari.
Rasulullah lalu bersabda, “Kini apa yang dia sampaikan memang betul, namun hanya saja dia sudah berhasil mengelabuimu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapakah sebenarnya laki-laki yang mendatangimu tiga kali itu?” Aku menjawab, “Tidak, aku tidak tahu .” Rasulullah Saw kembali bersabda, “Ketahuilah, dia itu adalah setan". (HR.Bukhari)
NB : Saudaraku, begitulah pekerjaan setan. Ketika engkau hendak melakukan suatu kebajikan, ia akan berkata kepadamu, “Kerjakanlah esok saja.” Keesokan harinya ketika engkau hendak melaksanakannya, ia akan datang kembali seraya berkata, “Kerjakanlah esok saja.”
Laki-laki itu menjawab, “Aku sudah berkeluarga dan saat ini betul-betul membutuhkan makanan untuk mereka.” Mendengar itu, aku akhirnya mengijinkan dia mengambil makanan itu.
Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang kau lakukan semalam?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, seorang laku-laki mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu aku persilahkan dia mengambilnya.”
Rasulullah Saw lalu bersabda kembali, “Dia telah mengelabuimu wahai Abu Hurairah, dan esok akan kembali lagi.”
Karena tahu akan datang lagi, keesokan harinya aku mengawasinya dengan teliti dan ternyata betul apa yang disampikan Raulullah, ia telah berada di ruang zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu dia mengambilnya.
Melihat itu, aku berkata kembali, “Jangan kau ambil dulu harta itu sampai ada ijin dari Rasulullah Saw.” Laki-laki itu menjawab, “Aku betul-betul sangat membutuhkan makanan itu sekarang, keluargaku kini sedang menunggu menahan lapar. Aku berjani tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, aku merasa kasihan dan akhirnya aku persilahkan kembali dia mengambil harta zakat.
Keesokan harinya, Rasulullah bertanya kembali, “Apa yang kau lakukan kemarin wahai Abu Hurairah?” Aku menjawab, “Orang yang kemarin datang lagi dan meminta harta zakat. Karena keluarganya telah lama menuggu kelaparan, akhirnya aku kembali mengizinkan dia mengambil harta zakat tersebut. Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda kembali, “Dia telah membohongimu, dan besok ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya.”
Ternyata laki-laki itu kembali lagi. Seperti biasa, dia mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, aku kembali menegurnya, “Jangan mengambil dahulu, aku akan memohon izin kepada Rasulullah Saw terlebih dahulu. Bukankah kau kemarin berjanji untuk tidak datang lagi, tapi kenapa kau kembali juga?” laki-laki itu menjawab, “Izinkanlah untuk yang terakhir kalinya aku mengambil harta zakat ini, dan sebagai imbalannya aku akan ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang apabila kau membacanya, Allah akan selalu menjagamu dan kau tidak akan disentuh dan didekati setan hingga pagi hari.”
Aku tertarik dengan ucapannya. Aku pun menanyakan kalimat apakah itu. Dia menjawab, “Apabila kau hendak tidur jangan lupa membaca ayat kursi terlebih dahulu, karena dengannya Allah akan menjagamu dan kau tidak akan didekati setan hingga pagi tiba.”
Kali ini aku pun mengijinkannya mengambil harta zakat. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah kulakukan kemarin dan kukatakan, “Ya Rasulullah, aku terpaksa membolehkannya kembali mengambil zakat setelah dia mengajarkanku kalimat yang sangat bermanfaat.”
Lalu Rasulpun bertanya, “Kalimat apakah yang diajarkannya?” Aku menjawab bahwa dia mengajarkanku ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau aku membacanya, Allah akan menjagaku sampai pagi hari.
Rasulullah lalu bersabda, “Kini apa yang dia sampaikan memang betul, namun hanya saja dia sudah berhasil mengelabuimu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapakah sebenarnya laki-laki yang mendatangimu tiga kali itu?” Aku menjawab, “Tidak, aku tidak tahu .” Rasulullah Saw kembali bersabda, “Ketahuilah, dia itu adalah setan". (HR.Bukhari)
NB : Saudaraku, begitulah pekerjaan setan. Ketika engkau hendak melakukan suatu kebajikan, ia akan berkata kepadamu, “Kerjakanlah esok saja.” Keesokan harinya ketika engkau hendak melaksanakannya, ia akan datang kembali seraya berkata, “Kerjakanlah esok saja.”
apa yang paling..........didunia ini..........?
Suatu hari Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya, lalu Imam al-Ghozali bertanya kepada murid-muridnya tersebut :
1. Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...? Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman dan kerabat, Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua itu benar, tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "KEMATIAN". Sebab itu sudah janji Allah swt bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (Ali Imran 185), lalu Imam al-Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.
2. Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...? Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari dan bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan benar, tetapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Sebab bagaimanapun, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
3. Apa yang paling besar di dunia ini...? Murid-muridnya menjawab gunung, bumi, matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam al-Ghazali, tetapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" (al-A'raf 179). Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai membawa kita ke neraka.
4. Apa yang paling berat di dunia...? Murid-muridnya ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban kalian benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH" (al-Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung dan Malaikat semua tidak mampu ketika Allah swt meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah swt, sehingga banyak dari mereka yang masuk ke dalam neraka karena tidak bisa memegang amanahnya.
5. Apa yang paling ringan di dunia ini...? Murid-muridnya ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "MENINGGALKAN SHaLAT". Karena kesibukan dan pekerjaan, manusia dapat meninggalkan shalat.
6. Apakah yang paling tajam di dunia ini...? Murid-muridnya menjawab serentak, Pedang.… "Benar!" kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" karena dengan lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan perasaan saudaranya sendiri.
1. Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...? Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman dan kerabat, Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua itu benar, tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "KEMATIAN". Sebab itu sudah janji Allah swt bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (Ali Imran 185), lalu Imam al-Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.
2. Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...? Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari dan bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan benar, tetapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Sebab bagaimanapun, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
3. Apa yang paling besar di dunia ini...? Murid-muridnya menjawab gunung, bumi, matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam al-Ghazali, tetapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" (al-A'raf 179). Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai membawa kita ke neraka.
4. Apa yang paling berat di dunia...? Murid-muridnya ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban kalian benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH" (al-Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung dan Malaikat semua tidak mampu ketika Allah swt meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah swt, sehingga banyak dari mereka yang masuk ke dalam neraka karena tidak bisa memegang amanahnya.
5. Apa yang paling ringan di dunia ini...? Murid-muridnya ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "MENINGGALKAN SHaLAT". Karena kesibukan dan pekerjaan, manusia dapat meninggalkan shalat.
6. Apakah yang paling tajam di dunia ini...? Murid-muridnya menjawab serentak, Pedang.… "Benar!" kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" karena dengan lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan perasaan saudaranya sendiri.
lapar..........
Suatu ketika, adalah salah seorang yang sedang berjalan di malam hari melewati rumah-rumah penduduk yang telah lelap dalam tidurnya. Kemudian ia mendengar dari salah satu rumah tersebut tangisan anak kecil.
Ia pun kemudian mencari dari mana arah suara tersebut datang. Ternyata tangisan anak kecil tersebut dari salah satu rumah seorang fakir miskin. Ia kemudian mendekat dan mengetuk pintu rumah tersebut.
Tangisan itu semakin jelas ia dengar. Beberapa saat setelah ia mengetuk pintu, seorang anak kecil yang baru berusia lima tahun membukakan pintu. Ia membuka pintu sambil menangis.
“..apakah kau menangis karena lapar duhai anakku..?” Tanyanya kepada anak kecil tersebut.
Anak kecil itu kemudian menjawab, “..bukan. Aku menangis karena bersyukur kepada Allah. Lapar adalah salah satu sifat orang-orang shalih yang derajatnya dimuliakan oleh Allah swt. Dan aku sangat bersyukur karena diusiaku yang masih kanak-kanak ini dan aku tidak memiliki amalan apapun, namun Allah swt memberikan kepadaku sifat orang yang shalih, yaitu LAPAR..”
Ia pun kemudian mencari dari mana arah suara tersebut datang. Ternyata tangisan anak kecil tersebut dari salah satu rumah seorang fakir miskin. Ia kemudian mendekat dan mengetuk pintu rumah tersebut.
Tangisan itu semakin jelas ia dengar. Beberapa saat setelah ia mengetuk pintu, seorang anak kecil yang baru berusia lima tahun membukakan pintu. Ia membuka pintu sambil menangis.
“..apakah kau menangis karena lapar duhai anakku..?” Tanyanya kepada anak kecil tersebut.
Anak kecil itu kemudian menjawab, “..bukan. Aku menangis karena bersyukur kepada Allah. Lapar adalah salah satu sifat orang-orang shalih yang derajatnya dimuliakan oleh Allah swt. Dan aku sangat bersyukur karena diusiaku yang masih kanak-kanak ini dan aku tidak memiliki amalan apapun, namun Allah swt memberikan kepadaku sifat orang yang shalih, yaitu LAPAR..”
Cara menjauhkan diri dari maksiat
Suatu ketika datang seseorang kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, “..aku adalah orang yang gemar berbuat maksiat dan aku ingin engkau menolongku agar aku jauh dari maksiat dan tidak dibenci oleh Allah Swt..”
Kemudian Ibrahim bin Adham berkata, “..aku akan memberikan kepadamu lima hal : Pertama, jika kau ingin berbuat maksiat, maka janganlah sekali-kali engkau memakan rezeki yang datangnya dari Allah.”
“Mana mungkin, karena semua yang manusia dapat di dunia ini adalah rezeki dari Allah.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata “..apakah kau tidak malu memakan rezeki dari Allah dan kau bermaksiat melanggar laranganya?”
Kedua, jika kau ingin berbuat maksiat, maka janganlah sesekali tinggal di tempat milik Allah.”
“Mana mungkin, karena semua tempat adalah milik Allah.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “..apakah kau tidak malu tinggal di tempat milik Allah dan kau bermaksiat melanggar laranganya?”
Ketiga, jika kau ingin maksiat maka bermaksiatlah di tempat yang tidak dilihat Allah.”
“Mana mungkin, karena Allah Maha Melihat dan Mengetahui.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “..apakah kau tidak malu bermaksiat melanggar laranganya dan Ia Melihatmu?”
Keempat, jika datang malaikat maut kepadamu, maka mintalah kepadanya untuk menunda agar kau dapat bertaubat.”
“Mana mungkin, karena setiap ajal tidak dapat ditunda atau dimajukan.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “..jika tidak bisa maka bagaiman jika datang malaikat maut dan kau dalam keadaan maksiat melanggar larangan Allah?”
Kelima, jika malaikat yang meniup sangkakala telah meniupkan sangkakalanya, maka selamatkanlah dirimu dan jangan lari bersama orang-orang yang ada di dunia.”
“Mana mungkin, aku pasti akan mati.” Jawab orang tersebut.
Setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Ibrahim bin Adham, orang tersebut menyadari akan kesalahannya dan bertaubat kepada Allah dan menjadi hamba-Nya yang shalih yang selalu menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke lubang maksiat hingga akhir umurnya.
Laporkan
Kemudian Ibrahim bin Adham berkata, “..aku akan memberikan kepadamu lima hal : Pertama, jika kau ingin berbuat maksiat, maka janganlah sekali-kali engkau memakan rezeki yang datangnya dari Allah.”
“Mana mungkin, karena semua yang manusia dapat di dunia ini adalah rezeki dari Allah.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata “..apakah kau tidak malu memakan rezeki dari Allah dan kau bermaksiat melanggar laranganya?”
Kedua, jika kau ingin berbuat maksiat, maka janganlah sesekali tinggal di tempat milik Allah.”
“Mana mungkin, karena semua tempat adalah milik Allah.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “..apakah kau tidak malu tinggal di tempat milik Allah dan kau bermaksiat melanggar laranganya?”
Ketiga, jika kau ingin maksiat maka bermaksiatlah di tempat yang tidak dilihat Allah.”
“Mana mungkin, karena Allah Maha Melihat dan Mengetahui.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “..apakah kau tidak malu bermaksiat melanggar laranganya dan Ia Melihatmu?”
Keempat, jika datang malaikat maut kepadamu, maka mintalah kepadanya untuk menunda agar kau dapat bertaubat.”
“Mana mungkin, karena setiap ajal tidak dapat ditunda atau dimajukan.” Jawab orang tersebut.
Ibrahim bin Adham kemudian berkata, “..jika tidak bisa maka bagaiman jika datang malaikat maut dan kau dalam keadaan maksiat melanggar larangan Allah?”
Kelima, jika malaikat yang meniup sangkakala telah meniupkan sangkakalanya, maka selamatkanlah dirimu dan jangan lari bersama orang-orang yang ada di dunia.”
“Mana mungkin, aku pasti akan mati.” Jawab orang tersebut.
Setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Ibrahim bin Adham, orang tersebut menyadari akan kesalahannya dan bertaubat kepada Allah dan menjadi hamba-Nya yang shalih yang selalu menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke lubang maksiat hingga akhir umurnya.
Laporkan
meraih kebahagiaan
Frank Mihalic bercerita dalam The Millennium Stories bahwa suatu hari seorang wanita cantik berpakaian mahal mengeluh kepada psikiater, ia merasa hidupnya kosong tak berarti.
Sang psikiater berkata, “Aku akan memanggil Mary agar ia bercerita bagaimana ia menemukan kebahagiaan. Dengarkanlah keterangannya baik-baik!”
Ia kemudian memanggil wanita tua yang bernama Mary yang biasa mengepel lantai kantornya. Wanita tua tersebut meletakkan sapunya kemudian duduk di kursi dan mulai bercerita.
“Well, suamiku meninggal karena malaria, tiga bulan kemudian satu-satunya anakku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi, aku juga tidak memiliki apa-apa. Makan terasa tidak enak, tidurpun terasa tak nyenyak. Aku tidak dapat tersenyum kepada siapa pun. Aku bahkan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku.” Jelas wanita tua itu.
“Pada suatu sore, seekor anak kucing mengikutiku pulang dari kerja. Aku merasa kasihan dengan kucing kecil itu. Cuaca hari itu sangat dingin. Lalu kubiarkan ia masuk ke dalam rumah. Kuberi ia susu hangat di piring kecil. Kucing itu menjilat-jilat dengan lahap sampai piring itu bersih. Ia kemudia menggeram dan menggosok-gosokkan badannya ke tubuhku. Menyaksikan apa yang dilakukan oleh kucing kecil itu, aku tersenyum. Itu adalah senyumku yang pertama kali setelah berbulan-bulan. Kemudian aku merenung, jika membantu kucing kecil saja dapat membuatku tersenyum, mungkin berbuat sesuatu untuk manusia dapat membuatku bahagia. Keesokan harinya, aku membikin kue dan membawakannya ke tetanggaku yang sedang sakit. Melihat mereka senang, aku pun turut bahagia. Sekarang, aku tak tahu apakah ada manusia yang tidur dan makan seenak diriku. Aku telah menemukan kebahagiaan dengan membuat orang lain bahagia.
Demikian akhir cerita Frank Mihalic.
Sang psikiater berkata, “Aku akan memanggil Mary agar ia bercerita bagaimana ia menemukan kebahagiaan. Dengarkanlah keterangannya baik-baik!”
Ia kemudian memanggil wanita tua yang bernama Mary yang biasa mengepel lantai kantornya. Wanita tua tersebut meletakkan sapunya kemudian duduk di kursi dan mulai bercerita.
“Well, suamiku meninggal karena malaria, tiga bulan kemudian satu-satunya anakku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi, aku juga tidak memiliki apa-apa. Makan terasa tidak enak, tidurpun terasa tak nyenyak. Aku tidak dapat tersenyum kepada siapa pun. Aku bahkan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku.” Jelas wanita tua itu.
“Pada suatu sore, seekor anak kucing mengikutiku pulang dari kerja. Aku merasa kasihan dengan kucing kecil itu. Cuaca hari itu sangat dingin. Lalu kubiarkan ia masuk ke dalam rumah. Kuberi ia susu hangat di piring kecil. Kucing itu menjilat-jilat dengan lahap sampai piring itu bersih. Ia kemudia menggeram dan menggosok-gosokkan badannya ke tubuhku. Menyaksikan apa yang dilakukan oleh kucing kecil itu, aku tersenyum. Itu adalah senyumku yang pertama kali setelah berbulan-bulan. Kemudian aku merenung, jika membantu kucing kecil saja dapat membuatku tersenyum, mungkin berbuat sesuatu untuk manusia dapat membuatku bahagia. Keesokan harinya, aku membikin kue dan membawakannya ke tetanggaku yang sedang sakit. Melihat mereka senang, aku pun turut bahagia. Sekarang, aku tak tahu apakah ada manusia yang tidur dan makan seenak diriku. Aku telah menemukan kebahagiaan dengan membuat orang lain bahagia.
Demikian akhir cerita Frank Mihalic.
Hidup adalah anugra
Hari ini sebelum engkau berpikir untuk mengucapkan kata-kata kasar, ingatlah akan seseorang yang tidak bisa berbicara.
Sebelum engkau mengeluh mengenai cita rasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
Sebelum engkau mengeluh tentang suami atau isterimu, ingatlah akan seseorang yang menangis kepada Allah meminta pasangan hidup.
Hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, ingatlah akan seseorang yang begitu cepat meninggalkan dunia ini.
Sebelum engkau mengeluh tentang anak-anakmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan kehadiran seorang anak, tetapi tidak mendapatnya.
Dan ketika engkau lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, ingatlah akan para penganguran yang menginginkan pekerjaanmu.
Sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang tidak bersalah.
Dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyuman di wajahmu dan berterima kasihlah kepada Allah karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini.
Hidup adalah anugerah, bersyukurlah atas segala pemberian-Nya, niscaya Ia Yang Mahakasih akan menambahnya.
Sebelum engkau mengeluh mengenai cita rasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
Sebelum engkau mengeluh tentang suami atau isterimu, ingatlah akan seseorang yang menangis kepada Allah meminta pasangan hidup.
Hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, ingatlah akan seseorang yang begitu cepat meninggalkan dunia ini.
Sebelum engkau mengeluh tentang anak-anakmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan kehadiran seorang anak, tetapi tidak mendapatnya.
Dan ketika engkau lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, ingatlah akan para penganguran yang menginginkan pekerjaanmu.
Sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang tidak bersalah.
Dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyuman di wajahmu dan berterima kasihlah kepada Allah karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini.
Hidup adalah anugerah, bersyukurlah atas segala pemberian-Nya, niscaya Ia Yang Mahakasih akan menambahnya.
Dhahak Ad Damiri berpamitan pada gurunya untuk pergi berniaga. Raut wajahnya tampak menyesali diri lantaran tidak bisa mengikuti kajian Ibrahim bin Adham, sang gurunya. Ia mesti memenuhi keperluan hidupnya dengan berdagang mengelilingi berbagai penjuru negeri. Biasanya Dhahak berdagang hingga beberapa waktu. Kadang sebulan, seminggu atau beberapa hari.
Kepergiannya untuk berdagang yang memerlukan waktu cukup lama ia lazimkan selalu memohon pamit pada gurunya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan berharap doa keberkahan yang dipanjatkan sang guru untuknya.
"Ya syaikh, saya mohon izin tidak bisa mengikuti kajian seperti biasanya karena saya akan pergi mencari karunia Allah SWT di muka bumi ini. Tolong doakan agar saya tetap di jalan-Nya dan dagangan saya diberkahi Allah SWT", pinta Dhahak pada gurunya.
"Silahkan ya Dhahak, semoga keberkahan Allah SWT selalu menyertai langkah dan kehidupanmu. Namun janganlah kau lupa untuk selalu menunaikan hak-hak Allah SWT yang ada pada dirimu", syaikh memberikan peringatan untuk muridnya.
Tak lama kemudian berangkatlah Dhahak untuk menunaikan kewajibannya. Hingga ia berhenti menyaksikan peristiwa yang amat menakjubkan dirinya. Rupanya Dhahak sedang tertegun menyaksikan seekor burung yang malang. Burung tersebut patah kedua sayapnya dan pincang kedua kakinya.
"Kasihan sekali burung malang itu", ibanya dalam hati. "Mungkin burung itu menjelang ajal", pikir Dhahak. Ia pun memperhatikan betul gerak demi gerak dari burung itu. Ia berpikir bagaimana burung itu akan bisa melanjutkan hidupnya. Kedua sayapnya patah. Padahal fungsi sayap bagi seekor burung sangatlah vital untuk bisa menjalani hidupnya. Menjangkau dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kedua kakinya pun patah. Bagaimana burung itu bisa melangkah untuk mencari bekal hidup. Pikir Dhahak ad Damiri sembari memperhatikan nasib burung malang itu. Bagaimana burung itu bisa melanjutkan hidupnya untuk hari ini.
Akan tetapi beberapa waktu kemudian datanglah burung lain yang masih sehat menyisakan makanan yang didapatinya untuk diberikan kepada burung yang malang itu. Maka burung itu pun memakan makanan yang diberikan kepadanya. Ia pun akhirnya bisa menikmati hidup ini.
Beberapa lama kemudian ada burung lainnya yang juga memberikan makanan untuknya. Dan burung malang itu pun menyantap makanan yang diberikan kepadanya. Dan ternyata burung itu bisa melanjutkan ketentuan hidupnya.
Dhahak pun berpikir, sebenarnya Tuhan telah menggariskan hidup seseorang dengan segala bentuknya. Hidup dan matinya, rezki dan kemalangannya, kesulitan dan kemudahannya. Ia merenung sejenak. Lalu buat apa saya susah-susah harus menyeberangi sungai, melintasi desa, melewati pegunungan kalau ternyata Tuhan telah menentukan kehidupan bagi saya. Burung yang malang saja ternyata bisa melanjutkan hidupnya. Itulah kesimpulan yang diambil Dhahak setelah menyaksikan peristiwa berharga tersebut. Dari kesimpulan yang ia ambil, Dhahak pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan ikut serta dalam kajian Ibrahim bin Adham.
Sore harinya Dhahak pun sudah berada di majelis ilmunya Ibrahim bin Adham. Sang guru merasa heran pada muridnya. Apakah ia tidak jadi berangkat berdagang. Sebab biasanya ia pamit untuk beberapa lama meninggalkan majelis tersebut. Akan tetapi hari ini ia sudah berada di barisan muridnya. Ada apa gerangan ia tidak berangkat berniaga. Pikir sang guru terhadap muridnya.
Sang guru, Ibrahim bin Adham pun menanyakan kerisauannya tersebut kepada muridnya. "Apakah kamu tidak jadi berangkat atau menunda keberangkatanmu, ya Dhahak", tanya Ibrahim.
"Iya syaikh, saya tidak jadi berangkat berdagang. Saya putuskan untuk mengikuti kajianmu saja", jelas Dhahak.
"Ada apakah gerangan yang menyebabkan kau mengambil keputusan tersebut", selidik sang guru.
Maka Dhahak pun menceritakan perihal burung yang malang yang ia saksikan secara seksama babak demi babak kehidupannya. Ia pun kemudian mengambil kesimpulan untuk kembali ke rumah dengan meyakinkan gurunya bahwa burung yang malang saja bisa melanjutkan hidupnya. Apalagi saya yang masih punya banyak kesempatan dan kemampuan pasti Tuhan tetap memberikan bagian untuk dirinya. Dhahak menjelaskan perihal keputusannya itu kepada Ibrahim bin Adham yang mendengarkan keterangan muridnya dengan tekun.
"Kau keliru wahai Dhahak", penegasan Ibrahim bin Adham atas kesimpulan sikap muridnya. "Seharusnya kau berpikir seperti burung yang sehat itu. Ia mencari karunia Allah SWT di berbagai tempat namun ia tidak pernah melupakan nasib saudaranya yang menderita dan kesusahan sehingga ia sisakan makanan yang dicarinya untuk saudaranya yang sakit tersebut.” Jelas sanga guru.
"Begitu pula pada dirimu, jangan menempatkan dirimu seperti burung malang itu. Seharusnya kau posisikan dirimu seperti burung yang sehat itu tapi ia berikan makanan untuk yang lain. Oleh karena itu, pergilah mencari karunia Allah SWT dan bagilah manfaat yang kau terima untuk orang lain", nasehat gurunya.
Sebenarnya ajaran Islam telah banyak memberikan rambu-rambu yang jelas bagaimana menjadi muslim yang kaaffah. Apalgi bila dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai manusia. Bukankah Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Karena itu marilah kita menjadi produser kebaikan dan bukan menjadi komsumen terhadap kebaikan orang lain agar kebaikan selalu dalam keadaan surplus.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.”
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=133350883977
Kepergiannya untuk berdagang yang memerlukan waktu cukup lama ia lazimkan selalu memohon pamit pada gurunya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan berharap doa keberkahan yang dipanjatkan sang guru untuknya.
"Ya syaikh, saya mohon izin tidak bisa mengikuti kajian seperti biasanya karena saya akan pergi mencari karunia Allah SWT di muka bumi ini. Tolong doakan agar saya tetap di jalan-Nya dan dagangan saya diberkahi Allah SWT", pinta Dhahak pada gurunya.
"Silahkan ya Dhahak, semoga keberkahan Allah SWT selalu menyertai langkah dan kehidupanmu. Namun janganlah kau lupa untuk selalu menunaikan hak-hak Allah SWT yang ada pada dirimu", syaikh memberikan peringatan untuk muridnya.
Tak lama kemudian berangkatlah Dhahak untuk menunaikan kewajibannya. Hingga ia berhenti menyaksikan peristiwa yang amat menakjubkan dirinya. Rupanya Dhahak sedang tertegun menyaksikan seekor burung yang malang. Burung tersebut patah kedua sayapnya dan pincang kedua kakinya.
"Kasihan sekali burung malang itu", ibanya dalam hati. "Mungkin burung itu menjelang ajal", pikir Dhahak. Ia pun memperhatikan betul gerak demi gerak dari burung itu. Ia berpikir bagaimana burung itu akan bisa melanjutkan hidupnya. Kedua sayapnya patah. Padahal fungsi sayap bagi seekor burung sangatlah vital untuk bisa menjalani hidupnya. Menjangkau dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kedua kakinya pun patah. Bagaimana burung itu bisa melangkah untuk mencari bekal hidup. Pikir Dhahak ad Damiri sembari memperhatikan nasib burung malang itu. Bagaimana burung itu bisa melanjutkan hidupnya untuk hari ini.
Akan tetapi beberapa waktu kemudian datanglah burung lain yang masih sehat menyisakan makanan yang didapatinya untuk diberikan kepada burung yang malang itu. Maka burung itu pun memakan makanan yang diberikan kepadanya. Ia pun akhirnya bisa menikmati hidup ini.
Beberapa lama kemudian ada burung lainnya yang juga memberikan makanan untuknya. Dan burung malang itu pun menyantap makanan yang diberikan kepadanya. Dan ternyata burung itu bisa melanjutkan ketentuan hidupnya.
Dhahak pun berpikir, sebenarnya Tuhan telah menggariskan hidup seseorang dengan segala bentuknya. Hidup dan matinya, rezki dan kemalangannya, kesulitan dan kemudahannya. Ia merenung sejenak. Lalu buat apa saya susah-susah harus menyeberangi sungai, melintasi desa, melewati pegunungan kalau ternyata Tuhan telah menentukan kehidupan bagi saya. Burung yang malang saja ternyata bisa melanjutkan hidupnya. Itulah kesimpulan yang diambil Dhahak setelah menyaksikan peristiwa berharga tersebut. Dari kesimpulan yang ia ambil, Dhahak pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan ikut serta dalam kajian Ibrahim bin Adham.
Sore harinya Dhahak pun sudah berada di majelis ilmunya Ibrahim bin Adham. Sang guru merasa heran pada muridnya. Apakah ia tidak jadi berangkat berdagang. Sebab biasanya ia pamit untuk beberapa lama meninggalkan majelis tersebut. Akan tetapi hari ini ia sudah berada di barisan muridnya. Ada apa gerangan ia tidak berangkat berniaga. Pikir sang guru terhadap muridnya.
Sang guru, Ibrahim bin Adham pun menanyakan kerisauannya tersebut kepada muridnya. "Apakah kamu tidak jadi berangkat atau menunda keberangkatanmu, ya Dhahak", tanya Ibrahim.
"Iya syaikh, saya tidak jadi berangkat berdagang. Saya putuskan untuk mengikuti kajianmu saja", jelas Dhahak.
"Ada apakah gerangan yang menyebabkan kau mengambil keputusan tersebut", selidik sang guru.
Maka Dhahak pun menceritakan perihal burung yang malang yang ia saksikan secara seksama babak demi babak kehidupannya. Ia pun kemudian mengambil kesimpulan untuk kembali ke rumah dengan meyakinkan gurunya bahwa burung yang malang saja bisa melanjutkan hidupnya. Apalagi saya yang masih punya banyak kesempatan dan kemampuan pasti Tuhan tetap memberikan bagian untuk dirinya. Dhahak menjelaskan perihal keputusannya itu kepada Ibrahim bin Adham yang mendengarkan keterangan muridnya dengan tekun.
"Kau keliru wahai Dhahak", penegasan Ibrahim bin Adham atas kesimpulan sikap muridnya. "Seharusnya kau berpikir seperti burung yang sehat itu. Ia mencari karunia Allah SWT di berbagai tempat namun ia tidak pernah melupakan nasib saudaranya yang menderita dan kesusahan sehingga ia sisakan makanan yang dicarinya untuk saudaranya yang sakit tersebut.” Jelas sanga guru.
"Begitu pula pada dirimu, jangan menempatkan dirimu seperti burung malang itu. Seharusnya kau posisikan dirimu seperti burung yang sehat itu tapi ia berikan makanan untuk yang lain. Oleh karena itu, pergilah mencari karunia Allah SWT dan bagilah manfaat yang kau terima untuk orang lain", nasehat gurunya.
Sebenarnya ajaran Islam telah banyak memberikan rambu-rambu yang jelas bagaimana menjadi muslim yang kaaffah. Apalgi bila dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai manusia. Bukankah Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Karena itu marilah kita menjadi produser kebaikan dan bukan menjadi komsumen terhadap kebaikan orang lain agar kebaikan selalu dalam keadaan surplus.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.”
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=133350883977
Dikisahkan bahwa ada seorang ahli ibadah bernama Isham bin Yusuf, dia sangat wara’ dan sangat khusyu’ dalam shalatnya. Namun ia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyu’ dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih baik ibadahnya, demi untuk memperbaiki ibadahnya yang selalu dirasanya kurang khusyu’.
Pada suatu hari Isam menghadiri pengajian seorang seorang ulama yang bernama Hatim al-‘Ahsam dan bertanya, “Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya anda melaksanakan shalat?”
Berkata Hatim, “Apabila masuk waktu shalat, aku berwudhu zhahir dan batin.”
Bertanya Isam, “Bagaimana wudhu zhahir dan batin itu?”
Berkata Hatim, “Wudhu zhahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :
1. Bertaubat.
2. Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.
3. Tidak tergila-gila dengan dunia.
4. Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia
5. Meninggalkan sifat bermegah-megahan.
6. Meninggalkan sifat khianat dan menipu.
7. Meninggalkan sifat dengki.”
Selanjutnya Hatim berkata, “Kemudian aku pergi ke Masjid, aku siapkan semua anggota badanku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, surga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan aku bayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim dan aku menganggap bahawa shalatku kali ini adalah shalat yang terakhir bagiku karena aku merasa akan mati selepas shalat ini, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.
Setiap bacaan dan doa dalam shalat aku fahami maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan merasa hina, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku melaksanakan shalat selama 30 tahun.
Ketika Isham mendengar penjelasan Hatim, menangislah ia sekuat-kuatnya kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=152856668977
Pada suatu hari Isam menghadiri pengajian seorang seorang ulama yang bernama Hatim al-‘Ahsam dan bertanya, “Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya anda melaksanakan shalat?”
Berkata Hatim, “Apabila masuk waktu shalat, aku berwudhu zhahir dan batin.”
Bertanya Isam, “Bagaimana wudhu zhahir dan batin itu?”
Berkata Hatim, “Wudhu zhahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :
1. Bertaubat.
2. Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.
3. Tidak tergila-gila dengan dunia.
4. Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia
5. Meninggalkan sifat bermegah-megahan.
6. Meninggalkan sifat khianat dan menipu.
7. Meninggalkan sifat dengki.”
Selanjutnya Hatim berkata, “Kemudian aku pergi ke Masjid, aku siapkan semua anggota badanku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, surga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan aku bayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim dan aku menganggap bahawa shalatku kali ini adalah shalat yang terakhir bagiku karena aku merasa akan mati selepas shalat ini, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.
Setiap bacaan dan doa dalam shalat aku fahami maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan merasa hina, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku melaksanakan shalat selama 30 tahun.
Ketika Isham mendengar penjelasan Hatim, menangislah ia sekuat-kuatnya kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=152856668977
Sesungguhnya setiap hari harta kita berbicara kepada kita, “...aku bukan milikmu, aku semata-mata berasal dari kemurahan Allah kepadamu. Jika aku dapat kau timbun, itu bukan karena jerih payahmu, sebab telah banyak orang yang bekerja lebih keras daripadamu namun tidak berhasil mengumpulkanku. Jika aku berhasil kau kumpulkan, itu bukan juga karena kepintaranmu, karena banyak orang yang jauh lebih pintar daripadamu namun tidak berhasil mengumpulkanku. Kau sama sekali tidak berkuasa atasku, karena aku bisa sewaktu-waktu berpindah ke tangan orang lain, aku bisa hilang, aku bisa musnah karena musibah yang datang diluar pengetahuan dan kekuasaanmu.”
Demikian pula dengan badan kita, setiap hari ia berkata, “...aku bukanlah milikmu. Kau tidak dapat memerintahku untuk tumbuh, kau tidak dapat melarangku untuk sakit, kau tidak dapat memerintahkanku untuk selalu sehat, kau tidak dapat memerintahkanku untuk segera tumbuh, kau tidak dapat memerintahkanku untuk tidak beruban, dan kau tidak dapat menahan proses penuaanku.”
Namun, suara itu terlalu sayup untuk telinga kita, sehingga kita tidak mendengarnya. Kita merasa sombong dengan harta dan ketampanan wajah, padahal sewaktu-waktu kenikmatan tersebut dapat dicabut oleh Allah dan diserahkan kepada selain kita.
Harta bisa habis dalam sekejap, ketampanan wajah bisa berubah menjadi sangat jelek dan menakutkan. Lalu bagaimana cara kita memelihara berbagai nikmat tersebut agar selalu menjadi milik kita..?
Mudah....., yaitu dengan bersyukur, mengakui semua itu berasal dari kemurahan Allah yang tidak diberikan kepada semua makhluk-Nya, dan sewaktu-waktu dapat berpindah sesuai kehendak-Nya.
Kuatkan rasa syukurmu kepada-Nya dengan mempergunakan seluruh kenikmatan tersebut di jalan yang diridhai-Nya.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=151497638977
Demikian pula dengan badan kita, setiap hari ia berkata, “...aku bukanlah milikmu. Kau tidak dapat memerintahku untuk tumbuh, kau tidak dapat melarangku untuk sakit, kau tidak dapat memerintahkanku untuk selalu sehat, kau tidak dapat memerintahkanku untuk segera tumbuh, kau tidak dapat memerintahkanku untuk tidak beruban, dan kau tidak dapat menahan proses penuaanku.”
Namun, suara itu terlalu sayup untuk telinga kita, sehingga kita tidak mendengarnya. Kita merasa sombong dengan harta dan ketampanan wajah, padahal sewaktu-waktu kenikmatan tersebut dapat dicabut oleh Allah dan diserahkan kepada selain kita.
Harta bisa habis dalam sekejap, ketampanan wajah bisa berubah menjadi sangat jelek dan menakutkan. Lalu bagaimana cara kita memelihara berbagai nikmat tersebut agar selalu menjadi milik kita..?
Mudah....., yaitu dengan bersyukur, mengakui semua itu berasal dari kemurahan Allah yang tidak diberikan kepada semua makhluk-Nya, dan sewaktu-waktu dapat berpindah sesuai kehendak-Nya.
Kuatkan rasa syukurmu kepada-Nya dengan mempergunakan seluruh kenikmatan tersebut di jalan yang diridhai-Nya.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=151497638977
Dengan tertawa, anda telah mengambil resiko tampak bodoh. Dengan menangis, anda telah mengambil resiko kelihatan sentimentil. Dengan membantu orang lain, anda telah mengambil resiko untuk terlibat dalam masalahnya. Dengan mengungapkan perasaanmu, anda telah mengambil resiko untuk menyingkapkan jati diri. Dengan membeberkan gagasan dan impian di hadapan khalayak ramai, anda telah mengambil resiko untuk kehilangan keduanya. Dengan mencintai, anda telah mengambil resiko untuk ditolak. Dengan hidup, anda telah mengambil resiko untuk mati. Dengan menaruh kepercayaan, anda telah mengambil resiko untuk kecewa. Dengan mencoba, anda telah mengambil resiko untuk gagal.
Namun resiko-resiko itu tetap harus diambil, sebab bahaya terbesar dalam kehidupan ini adalah keengganan untuk mengambil resiko.
Orang yang tidak mau mengambil resiko, ia tidak akan berbuat apa-apa, tidak memiliki apa-apa, dan bukan apa-apa.
Mereka mungkin bisa menghindar dari penderitaan dan kesengsaraan, tapi mereka tidak pernah belajar, merasakan, berubah, tumbuh, mencintai dan hidup. Mereka dibelenggu oleh sikapnya. Mereka adalah para budak yang mengorbankan kemerdekaannya. Hanya mereka yang mau mengambil resiko akan hidup merdeka.
Ketahuilah, perahu memang selalu aman berada di daratan, namun bukan untuk itu ia diciptakan.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=180757143977
Namun resiko-resiko itu tetap harus diambil, sebab bahaya terbesar dalam kehidupan ini adalah keengganan untuk mengambil resiko.
Orang yang tidak mau mengambil resiko, ia tidak akan berbuat apa-apa, tidak memiliki apa-apa, dan bukan apa-apa.
Mereka mungkin bisa menghindar dari penderitaan dan kesengsaraan, tapi mereka tidak pernah belajar, merasakan, berubah, tumbuh, mencintai dan hidup. Mereka dibelenggu oleh sikapnya. Mereka adalah para budak yang mengorbankan kemerdekaannya. Hanya mereka yang mau mengambil resiko akan hidup merdeka.
Ketahuilah, perahu memang selalu aman berada di daratan, namun bukan untuk itu ia diciptakan.
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=180757143977
Langganan:
Postingan (Atom)