Selasa, 24 November 2009

Dhahak Ad Damiri berpamitan pada gurunya untuk pergi berniaga. Raut wajahnya tampak menyesali diri lantaran tidak bisa mengikuti kajian Ibrahim bin Adham, sang gurunya. Ia mesti memenuhi keperluan hidupnya dengan berdagang mengelilingi berbagai penjuru negeri. Biasanya Dhahak berdagang hingga beberapa waktu. Kadang sebulan, seminggu atau beberapa hari.

Kepergiannya untuk berdagang yang memerlukan waktu cukup lama ia lazimkan selalu memohon pamit pada gurunya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan berharap doa keberkahan yang dipanjatkan sang guru untuknya.

"Ya syaikh, saya mohon izin tidak bisa mengikuti kajian seperti biasanya karena saya akan pergi mencari karunia Allah SWT di muka bumi ini. Tolong doakan agar saya tetap di jalan-Nya dan dagangan saya diberkahi Allah SWT", pinta Dhahak pada gurunya.

"Silahkan ya Dhahak, semoga keberkahan Allah SWT selalu menyertai langkah dan kehidupanmu. Namun janganlah kau lupa untuk selalu menunaikan hak-hak Allah SWT yang ada pada dirimu", syaikh memberikan peringatan untuk muridnya.

Tak lama kemudian berangkatlah Dhahak untuk menunaikan kewajibannya. Hingga ia berhenti menyaksikan peristiwa yang amat menakjubkan dirinya. Rupanya Dhahak sedang tertegun menyaksikan seekor burung yang malang. Burung tersebut patah kedua sayapnya dan pincang kedua kakinya.

"Kasihan sekali burung malang itu", ibanya dalam hati. "Mungkin burung itu menjelang ajal", pikir Dhahak. Ia pun memperhatikan betul gerak demi gerak dari burung itu. Ia berpikir bagaimana burung itu akan bisa melanjutkan hidupnya. Kedua sayapnya patah. Padahal fungsi sayap bagi seekor burung sangatlah vital untuk bisa menjalani hidupnya. Menjangkau dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kedua kakinya pun patah. Bagaimana burung itu bisa melangkah untuk mencari bekal hidup. Pikir Dhahak ad Damiri sembari memperhatikan nasib burung malang itu. Bagaimana burung itu bisa melanjutkan hidupnya untuk hari ini.

Akan tetapi beberapa waktu kemudian datanglah burung lain yang masih sehat menyisakan makanan yang didapatinya untuk diberikan kepada burung yang malang itu. Maka burung itu pun memakan makanan yang diberikan kepadanya. Ia pun akhirnya bisa menikmati hidup ini.

Beberapa lama kemudian ada burung lainnya yang juga memberikan makanan untuknya. Dan burung malang itu pun menyantap makanan yang diberikan kepadanya. Dan ternyata burung itu bisa melanjutkan ketentuan hidupnya.

Dhahak pun berpikir, sebenarnya Tuhan telah menggariskan hidup seseorang dengan segala bentuknya. Hidup dan matinya, rezki dan kemalangannya, kesulitan dan kemudahannya. Ia merenung sejenak. Lalu buat apa saya susah-susah harus menyeberangi sungai, melintasi desa, melewati pegunungan kalau ternyata Tuhan telah menentukan kehidupan bagi saya. Burung yang malang saja ternyata bisa melanjutkan hidupnya. Itulah kesimpulan yang diambil Dhahak setelah menyaksikan peristiwa berharga tersebut. Dari kesimpulan yang ia ambil, Dhahak pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan ikut serta dalam kajian Ibrahim bin Adham.

Sore harinya Dhahak pun sudah berada di majelis ilmunya Ibrahim bin Adham. Sang guru merasa heran pada muridnya. Apakah ia tidak jadi berangkat berdagang. Sebab biasanya ia pamit untuk beberapa lama meninggalkan majelis tersebut. Akan tetapi hari ini ia sudah berada di barisan muridnya. Ada apa gerangan ia tidak berangkat berniaga. Pikir sang guru terhadap muridnya.

Sang guru, Ibrahim bin Adham pun menanyakan kerisauannya tersebut kepada muridnya. "Apakah kamu tidak jadi berangkat atau menunda keberangkatanmu, ya Dhahak", tanya Ibrahim.

"Iya syaikh, saya tidak jadi berangkat berdagang. Saya putuskan untuk mengikuti kajianmu saja", jelas Dhahak.

"Ada apakah gerangan yang menyebabkan kau mengambil keputusan tersebut", selidik sang guru.

Maka Dhahak pun menceritakan perihal burung yang malang yang ia saksikan secara seksama babak demi babak kehidupannya. Ia pun kemudian mengambil kesimpulan untuk kembali ke rumah dengan meyakinkan gurunya bahwa burung yang malang saja bisa melanjutkan hidupnya. Apalagi saya yang masih punya banyak kesempatan dan kemampuan pasti Tuhan tetap memberikan bagian untuk dirinya. Dhahak menjelaskan perihal keputusannya itu kepada Ibrahim bin Adham yang mendengarkan keterangan muridnya dengan tekun.

"Kau keliru wahai Dhahak", penegasan Ibrahim bin Adham atas kesimpulan sikap muridnya. "Seharusnya kau berpikir seperti burung yang sehat itu. Ia mencari karunia Allah SWT di berbagai tempat namun ia tidak pernah melupakan nasib saudaranya yang menderita dan kesusahan sehingga ia sisakan makanan yang dicarinya untuk saudaranya yang sakit tersebut.” Jelas sanga guru.

"Begitu pula pada dirimu, jangan menempatkan dirimu seperti burung malang itu. Seharusnya kau posisikan dirimu seperti burung yang sehat itu tapi ia berikan makanan untuk yang lain. Oleh karena itu, pergilah mencari karunia Allah SWT dan bagilah manfaat yang kau terima untuk orang lain", nasehat gurunya.

Sebenarnya ajaran Islam telah banyak memberikan rambu-rambu yang jelas bagaimana menjadi muslim yang kaaffah. Apalgi bila dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai manusia. Bukankah Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Karena itu marilah kita menjadi produser kebaikan dan bukan menjadi komsumen terhadap kebaikan orang lain agar kebaikan selalu dalam keadaan surplus.

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.”

http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest¬e_id=133350883977

0 komentar:

Posting Komentar